ABSTRAK
Nama : Nur Rahmah Surya Ningsih
NIM : 10500111100
Jurusan : Ilmu Hukum
Judul : Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan Akta Notaris
Notaris dibebankan tanggungjawab yang besar atas setiap tindakan
yang dilakukan, dalam hal ini membuat akta otentik. Seringkali notaris dalam
membuat akta otentik melakukan kesalahan seperti tidak membacakan akta
dihadapan para pihak yang dapat menyebabkan akta tersebut dibatalkan oleh pengadilan.
Adapun masalah yang terjadi, penulis mencoba mengkaji dan meniliti
lebih lanjut yang bertujuan, mengetahui faktor-faktor penyebab dibatalkannya akta notaris dan tanggungjawab profesi notaris terhadap pembatalan akta yang
dibuatnya. Dalam
penelitian ini peneliti berusaha menggali informasi berupa fakta maupun opini
yang dikumpulkan dengan menggunakan metodologi penelitian lapangan (feld
research), selain metode tersebut penulis juga menggunakan pendekatan
penelitian study kasus dan survey.
Dari hasil penelitian dengan metode dan pendekatan penelitian yang
digunakan peneliti, peneliti berhasil menemukan bahwasanya faktor-faktor
penyebab dibatalkannya suatu akta oleh pengadilan karena tidak dibacakannya
akta dihadapan para pihak, adanya unsur pemaksaan untuk menandatangani akta dan
adanya syarat formil yang tidak terpenuhi dalam pembuatan akta. Peneliti juga
berhasil mengidentifikasi bahwasanya tanggungjawab seorang notaris apabila akta
dibatalkan karena kelalaiannya adalah melakukan ganti rugi kepada para pihak
baik itu ganti rugi yang nyata (materiil) maupun tidak nyata (imateriil).
Implikasi dari hasil penelitian adalah agar kiranya notaris dalam
membuat akta bertindak profesioanlitas, jujur, dan cermat dan bagi para pihak
yang ingin dibuatkan akta oleh notaris untuk bertindak jujur atau memberikan
keterangan yang sebenarnya dalam pembuatan akta oleh notaris.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Di era globalisasi ini
salah satu ciri yang muncul adalah keinginan manusia untuk menuju taraf hidup
yang semakin baik. Banyak cara dilakukan manusia supaya tuntutan kehidupan
mereka terpenuhi. Manusia berlomba untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan
melalui beberapa cara, antara lain melakukan usaha sendiri dan bersekutu serta
memanfaatkan pihak-pihak lain untuk mencapai tujuan. Salah satunya dengan cara
melakukan kerja sama antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan mengadakan
suatu perjanjian.
Sebagaimana umumnya suatu
perjanjian menimbulkan suatu perikatan. Berkenaan dengan perjanjian yang dibuat
oleh para pihak yang berkepentingan tidak terlepas dari kultur/budaya bangsa
Indonesia yang khas. Prinsip kepercayaan satu sama lain tertanam kuat dalam
benak masyarakat ketika mereka mengadakan suatu perjanjian, hal ini dibuktikan
dengan pengikatan suatu perjanjian secara lisan dan dengan disaksikan oleh
beberapa orang saksi saja. Seiring berjalannya waktu, budaya tersebut tidak
lagi dapat dipakai sebagai pegangan dalam pembuatan perjanjian, sebab hal
tersebut memiliki banyak kelemahan ketika terjadi sengketa antara pihak.
Untuk mengatasi hal
tersebut diperlukan adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak
yang melakukan perjanjian.[1]
Peran notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh menteri atau pejabat yang
ditunjuk semakin besar terkait dengan semakin maraknya orang-orang membuat
perjanjian atau perikatan. Hal ini terjadi karena notaris berwenang untuk
membuat akta otentik yang mampu memberi perlindungan kepada pihak-pihak yang
melakukan perjanjian. Undang-undang menyatakan bahwa notaris sebagai pejabat
umum yang diberi mandat untuk membuat akta otentik, sebab akta yang dibuat
notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, dikarenakan sifat otentik
yang dimiliki atas akta-akta yang dibuatnya.
Notaris adalah pejabat
umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya.[2]Notaris
merupakan suatu profesi yang dilatarbelakangi dengan keahlian khusus yang
ditempuh dalam suatu pendidikan dan pelatihan khusus, hal ini menuntut notaris
untuk memiliki pengetahuan yang luas serta tanggungjawab untuk melayani
kepentingan umum. Notaris dalam menjalankan tugasnya harus memegang teguh dan
menjunjung tinggi martabat profesinya. Dalam melayani kepentingan umum, notaris
dihadapkan dengan berbagai macam karakter manusia serta keinginan yang
berbeda-beda dari para pihak yang datang kepada notaris untuk dibuatkan suatu
akta otentik atau sekedar legalisasi sebagai bukti tertulis atas suatu
perjanjian yang dibuatnya.
Tafsir Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa Allah swt memerintahkan seseorang untuk menuliskan suatu
perjanjian utang kepada ahlinya. Menurut pendapat Imam Bukhari meriwayatkan sebagian dari
hadist melalui Ibnu Saleh, juru tulis al-Lais dari al-Lais.
…وَلْيَكْتُب
بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ…
Terjemahnya:
Dan hendaklah
seorang penulis di antara kalian menuliskannya dengan adil dan benar. (Al-Baqarah: 282)
Sebagaimana dijelaskan
di atas secara adil dan benar. Dengan kata lain, tidak berat sebelah dalam
tulisannya, tidak pula menuliskan, melainkan hanya apa yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak tanpa menambah atau menguranginya.[3]
Ayat tersebut menegaskan bahwa yang dimaksud penulis disini adalah orang yang
dapat dipercaya dan memiliki wewenang untuk menuliskan suatu perjanjian, yaitu
notaris. Oleh karenanya notaris harus bersikap adil dan tidak memihak kepada
salah satu pihak yang ingin dibuatkan akta.
Notaris dibebankan
tanggungjawab yang besar atas setiap tindakan yang dilakukan berkaitan dengan
pekerjaannya, dalam hal ini
mengenai
pembuatan akta otentik. Berkaitan
dengan tanggungjawab notaris, di Kota Denpasar seorang notaris dihadirkan sebagai Tergugat II dalam persidangan
kasus Pembatalan Akta Perpanjangan Sewa-Menyewa Tanah di Desa Benoa, Kecamatan
Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, hal ini membuktikan
bahwa tidak semua notaris bisa menjalankan tanggungjawabnya dengan baik dan
benar. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengetahui segala sesuatu
mengenai notaris atas akta yang dibuatnya sehingga penulis melakukan penulisan
hukum mengenai tinjauan yuridis terhadap pembatalan akta notaris.
B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus
Berlandaskan dari latar belakang tersebut maka tercapailah beberapa
pointer fokus penelitian, yaitu
1.
Faktor-faktor penyebab
dibatalkannya suatu akta oleh pengadilan.
2.
Tanggungjawab profesi Notaris atas
pembatalan akta yang
dibuatnya.
Untuk menghindari terjadinya kekeliruan
penafsiran pembaca terhadap
variabel-variabel atau kata-kata dan istilah-istilah teknis yang terkandung di
dalam fokus penelitian maka penulis mendeskripsikan penelitian yang terdiri
dari beberapa kata, yaitu :
Tanggungjawab dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti: keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya (jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan,
dsb).[4] Profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan tetap
dibidang tertentu, berdasarkan keahlian khusus yang dilakukan secara
bertanggungjawab dengan tujuan untuk melaksanakan dengan selayaknya apa yang
telah diwajibkan kepadanya.
Notaris menurut UU No. 2 Tahun 2014 Republik Indonesia tentang Jabatan
Notaris Pasal 1 ayat (1), notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.[5] Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia notaris berarti orang
yang mendapat kuasa dari pemerintah (dalam hal ini departemen kehakiman) untuk
mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta, dsb.
Akta otentik merupakan salah satu alat bukti
tulisan didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan pejabat/pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta
dibuatnya sebagaimana bunyi ketentuan pasal 1867 dan pasal 1868 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPer).[6]
C. Rumusan Masalah
1. Apa faktor-faktor penyebab dibatalkannya suatu akta
oleh pengadilan?
2. Bagaimana tanggungjawab profesi notaris atas
pembatalan akta yang dibuatnya?
D. Kajian Pustaka
Notaris menurut UU No. 2 Tahun 2014 Republik Indonesia tentang Jabatan
Notaris Pasal 1 ayat (1), notaris adalah pejabat yang berwenang untuk membuat
akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini. Sedangkan menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia notaris
berarti orang yang mendapat kuasa dari pemerintah (dalam hal ini departemen
kehakiman) untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat
wasiat, akta dan sebagainya.
Akta otentik
menurut
pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer), yaitu suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu
ditempat dimana akta dibuatnya.[7] Suatu
akta merupakan suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat dijadikan bukti
bila ada suatu peristiwa dan ditandatangani.[8]
Pengertian pembatalan mengandung dua macam kemungkinan alasan, yaitu
pembatalan karena tidak memenuhi syarat subjektif dan pembatalan karena adanya
wanprestasi dari debitur kepada kreditur. Pembatalan dapat dilakukan dengan tiga
syarat, yaitu:[9]
1. Perjanjian harus bersifat timbal balik (bilateral).
2. Harus ada wanprestasi (breach
of contract).
3. Harus dengan putusan hakim (verdict).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembatalan adalah suatu proses,
cara, perbuatan membatalkan atau suatu pernyataan batal.
E. Tujuan dan
Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang
masalah yang ada maka tujuan dari penelitian ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab
dibatalkannya suatu akta oleh pengadilan.
2. Untuk mengetahui tanggungjawab profesi notaris
dalam pembatalan akta yang dibuatnya menurut undang-undang No. 2 Tahun 2014
tentang Jabatan Notaris.
Sedangkan manfaat dilakukannya penelitian ini adalah
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat pada perkembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum perdata
khususnya mengenai tanggungjawab profesi notaris atas pembatalan akta yang
dibuatnya.
2. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan
penelitian-penelitian sejenis untuk tahapan selanjutnya.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan
memberikan masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan mengenai
pertanggungjawaban profesi notaris berkaitan dengan akta otentik.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian dan
Jenis-jenis Akta
1.
Pengertian Akta
Akta adalah
sebuah tulisan yang dibuat untuk tanda bukti.[1]Akta
adalah suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai atau digunakan sebagai bukti
perbuatan hukum, yaitu berupa tulisan yang ditujuakan untuk pembuktian sesuatu.[2] Akta
menurut A. Pitlo merupakan surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai
sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat
dibuat.[3]
Menurut Sudikno Mertokusumo akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang
memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang
dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.[4]
Dengan demikian akta merupakan surat yang ditandatangani,
memuat peristiwa-peristiwa atau perbuatan hukum dan digunakan sebagai
pembuktian. Menurtu Subekti, akta berbeda dengan surat, selanjutnya dikatakan
bahwa kata akta bukan berarti surat melainkan harus diartikan dengan perbuatan
hukum berasal dari kata acte yang dalam bahasa Prancis berarti perbuatan.[5]
Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
akta adalah suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai sebagai bukti perbuatan
hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan kepada pembuktian sesuatu.
2.
Jenis-jenis Akta
a.
Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau
dihadapan pejabat umum yang berwenang yang memuat atau menguraikan secara
otentik suatu tindakan yang dilakukan atau keadaan yang dilihat atau disaksikan
oleh pejabat umum pembuat akta dalam tersebut. Pejabat umum yang dimaksud ialah
notaris, hakim, juru sita pada suatu pengadilan, pegawai pencatatan sipil dan
sebagainya. Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi
para pihak beserta seluruh ahli warisnya atau pihak lain yang mendapat hak dari
para pihak, sehingga apabila suatu pihak mengajukan suatu akta otentik, hakim
harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta itu
sungguh-sungguh terjadi sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan penambahan
pembuktian lagi.
Pada Pasal 1 ayat (7) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Jabatan Notaris, menjelaskan mengenai akta otentik, yaitu akta yang
dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan
dalam undang-undang. Sedangkan menurut Victor Situmorang dalam bukunya
menjelaskan bahwa akta otentik adalah suatu hal (akta) yang dibuat dalam bentuk
sesuai undang-undang oleh dan di hadapan pegawai atau suatu badan yang menurut
undang-undang mereka berhak untuk melakukan untuk itu.[6]
Akta otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, yaitu suatu akta yang di dalam bentuk yang ditetapkan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berwenang untuk
itu, ditempat dimana akta dibuatnya. Akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan
pembuktian, yaitu:[7]
1.
Kekuatan
pembuktian lahiriah
2.
Kekuatan
pembuktian formil
3.
Kekuatan
pembuktian materiil
b.
Akta Dibawah Tangan
Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat tidak
dihadapan pejabat yang berwenang atau notaris. Apabila suatu akta dibawah
tangan tidak disangkal oleh para pihak, maka mereka mengakui dan tidak
menyangkal kebenaran apa yang tertulis pada akta dibawah tangan tersebut,
sehingga berdasarkan pasal 1857 Kitab Undang-undang Hukum Perdata akta di bawah
tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta
otentik, yaitu kekuatan pembuktian yang sempurna.[8]
B.
Akta Notaris Sebagai Akta Otentik
1. Akta Notaris
Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang sah atau yang diakui oleh
hukum, terdiri dari:
a.
Bukti tulisan
b.
Kesaksian
c.
Persangkaan-persangkaan
d.
Pengakuan
e.
Sumpah.
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan
tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan.[9]
Tulisan-tulisan otentik berupa akta otentik, yang dibuat dalam bentuk yang
sudah ditentukan oleh undang-undang, dibuat dihadapan pejabat-pejabat (pegawai
umum) yang diberi wewenang dan ditempat dimana akta tersebut dibuat.[10]
Tulisan dibawah tangan atau disebut juga akta dibawah tangan dibuat dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang tanpa perantara atau tidak di hadapan
pejabat umum yang berwenang.[11] Akta
otentik maupun akta dibawah tangan dibuat dengan tujuan untuk dipergunakan
sebagai alat bukti.
Dalam kenyataan ada tulisan yang dibuat tidak
dengan tujuan sebagai alat bukti, tapi dapat dipergunakan sebagai alat bukti,
jika hal seperti ini terjadi agar mempunyai nilai pembuktian harus dikaitkan
atau didukung dengan alat bukti yang lainnya. Perbedaan yang penting antara
kedua jenis akta tersebut, yaitu dalam nilai pembuktian, akta otentik mempunyai
pembuktian yang sempurna. Kesempurnaan akta notaris sebagai alat bukti, maka
akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan
lain selain yang tertulis dalam akta tersebut. Akta dibawah tangan mempunyai
kekuatan pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada
penyangkalan dari salah satu pihak, jika para pihak mengakuinya maka akta dibawah
tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana akta
otentik.[12]
Jika ada salah satu pihak yang tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan
kepada pihak yang menyangkal akta tersebut, dan penilaian penyangkalan atas
bukti tersebut diserahkan kepada hakim. Baik alat bukti akta dibawah tangan
maupun akta otentik keduanya harus memenuhi rumusan mengenai sahnya suatu
perjanjian berdasarkan pasal 1320 BW dan secara materiil mengikat para pihak
yang membuatnya sebagai suatu perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak (pacta sunt servanda).
Bahwa disebut akta notaris, karena akta tersebut
sebagai akta otentik yang dibuat dihadapan dan atau oleh notaris yang memenuhi
syarat yang telah ditentukan dalam Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN). Akta
notaris sudah pasti akta otentik tapi akta otentik bisa juga bukan akta
notaris, misalnya akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Risalah Lelang
Pejabat Lelang dan Akta Catatan Sipil.
2. Unsur Akta Otentik
Pengaturan akta otentik terdapat pada pasal 1868
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Dari pengertian diatas, akta
otentik memiliki beberapa unsur, antara lain:
a.
Akta itu harus dibuat oleh dan atau dihadapan pegawai atau pejabat umum
yang ditunjuk undang-undang.
b.
Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan Undang-undang.
c.
Pegawai umum yang ditunjuk harus memiliki wewenang untuk membuat akta.
3. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik
Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna, dimana akta tersebut memuat perjanjian yang mengikat kedua belah
pihak. Akta sebagai alat bukti tertulis dalam hal-hal tertentu merupakan bukti
yang kuat bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Kekuatan pembuktian dari akta notaris,
yaitu: [13]
a.
Kekuatan pembuktian lahiriah
Kekuatan pembuktian lahiriah, yaitu kemampuan dari
akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Jika dilihat
dari luar (lahiriah) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku mengenai syarat akta otentik, sampai ada yang membuktikan bahwa akta
tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini, beban pembuktian
ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta notaris. Parameter untuk
menentukan akta notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda tangan dari notaris
yang bersangkutan, baik yang ada pada minuta dan salinan serta adanya awal akta
sampai dengan akhir akta.
Nilai pembuktian akta notaris dari aspek lahiriah,
secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya.
Jika ada yang menilai bahwa suatu akta notaris tidak memenuhi syarat sebagai
akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara
lahiriah bukan akta otentik. Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah
akta notaris sebagai bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus
didasarkan pada syarat-syarat akta notaris sebagai akta otentik. Pembuktian
semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke pengadilan. Penggugat
harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi objek gugatan
bukan akta notaris.
b.
Kekuatan pembuktian formil
Akta notaris harus memberikan kepastian bahwa suatu
kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau
diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap kepada notaris dimana akta sudah
sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara
formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan,
tahun, pukul (waktu) menghadap dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda
tangan para pihak, saksi dan notaris, serta membuktikan apa yang dilihat,
disaksikan dan didengar oleh notaris (pada akta pejabat/berita acara), juga
mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap.
Jika
aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan formalitas
dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan,
tahun, dan pukul (waktu) menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang
menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan, dan
didengar oleh notaris. Selain itu juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran
pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan dihadapan
notaris, dan ketidakbenaran tanda tangan para pihak, saksi, dan notaris atau
pun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain, pihak
yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk
menyangkal aspek formal dari akta notaris. Jika tidak mampu membuktikan
ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun.
Siapapun
boleh untuk melakukan pengingkaran atau penyangkalan atas aspek formal akta
notaris, jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat oleh
atau dihadapan notaris. Pengingkaran atau penyangkalan tersebut harus dilakukan
dengan suatu gugatan ke pengadilan umum, dan penggugat harus dapat membuktikan
bahwa ada aspek formal yang dilanggar atau tidak sesuai dalam akta yang
bersangkutan.
c.
Kekuatan pembuktian materiil
Kepastian tentang suatu akta sangat
penting, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah
terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan
berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya. Keterangan atau pernyataan
yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat, atau keterangan para pihak yang
diberikan/disampaikan dihadapan notaris dan para pihak harus dinilai benar.
Perkataan yang kemudian dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar
atau setiap orang yang datang menghadap notaris yang kemudian keterangannya
dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata demikian. Jika
ternyata pernyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar, maka
hal tersebut menjadi tanggungjawab para pihak sendiri. Dengan demikian, isi
akta notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang
sah untuk/di antara para pihak dan para ahli waris dan para penerima hak
mereka.
Jika akan membuktikan aspek materil
dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa notaris tidak
menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta, atau para pihak yang
telah benar berkata (di hadapan notaris) menjadi tidak benar berkata, dan harus
dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta notaris.
Ketiga aspek tersebut di atas
merupakan kesempurnaan akta notaris sebagai akta otentik dan siapapun terikat
oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan,
bahwa salah satu aspek yang tidak benar, maka akta itu hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta tersebut disamakan kekuatan
pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah
tangan.
4. Fungsi Akta Otentik
a.
Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan
perjanjian tertentu.
b.
Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian
adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak.
c.
Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu, kecuali
jika ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan bahwa isi
perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.[14]
5. Jenis Akta Otentik
a.
Akta Relaas
atau akta Pejabat (Aambtelijke Akten)
Akta relaas adalah akta yang dibuat oleh
Notaris, dimana notaris menguraikan secara otentik suatu tindakan yang
dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh notaris itu
sendiri, dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris. [15]
b.
Akta Partij
(Partij Akten)
Akta partij adalah akta yang dibuat oleh
notaris atas dasar cerita yang disampaikan oleh para pihak yang menghadap para
pihak penghadap notaris, agar perbuatannya dikonstantir oleh notaris dalam
suatu akta otentik.[16]
6. Pembatalan Akta
Pasal 1266 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
menjelaskan bahwa terdapat dua kebatalan (nulitas) dalam suatu perikatan
dianggap selalu mempunyai suatu syarat batal dan pembatalan harus diberikan
oleh suatu majelis hakim.
Pasal 1266 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
ini erat kaitannya dengan Pasal 1320 dan 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer), yang memperjelas bilamana suatu akta (baik otentik maupun dibawah
tangan) dapat dibatalkan ataupun batal demi hukum, seperti syarat-syarat yang
diuraikan oleh masing-masing pasal tersebut, yang dalam doktrin ilmu hukum
terdapat ketentuan secara objektif dan subjektif atau berkenaan dengan subjek
hukum, perbuatan, hubungan, keadaan atau peristiwa hukum dan objek hukum yang
merupakan terjadinya perikatan atau perjanjian.
Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat, yaitu sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal
tertentu dan suatu sebab yang diperbolehkan. Pada dua syarat yang pertama yaitu
sepakat dan cakap disebut sebagai syarat subjektif, karena mengenai orang atau
subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir
dinamakan syarat objektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek
dari perbuatan hukum yang dilakukan.
Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam
akta notaris. Syarat subjektif dicantumkan pada awal akta, dan syarat objektif
dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari
pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) mengenai kebebasan
berkontrak dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak
mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan demikian jika dalam awal akta,
terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap notaris tidak memenuhi syarat
subjektif, maka atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapat dibatalkan.
Unsur subjektif yang pertama berupa
adanya kesepakatan bebas dari para pihak yang berjanji atau tanpa tekanan dan
intervensi dari pihak manapun, tetapi semata-mata keinginan para pihak yang
mengadakan perjanjian.[17]
Pasal 1321 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
menegaskan, apabila dapat dibuktikan bahwa kontrak ternyata disepakati dibawah
paksaan atau ancaman yang menimbulkan ketakutan orang yang diancam sehingga
orang tidak mempunyai pilihan lain, selain menandatangani kontrak tersebut,
maka akta tersebut dapat dibatalkan. Menurut Subekti, digambarkan sebagai
paksaan terhadap rohani ataupun paksaan terhadap jiwa (physic) berwujud
ancaman yang berbentuk perbuatan melawan hukum, misalnya dalam bentuk kekerasan
yang menimbulkan suatu ketakutan.[18]
Unsur subjektif yang kedua berupa adanya kecakapan
untuk melakukan tindakan dari pihak yang mengadakan perjanjian. Kecakapan
melakukan suatu tindakan hukum oleh para pihak dalam akta yang akan menimbulkan
akibat hukum pembatalan jika tidak memenuhi syarat yang sudah ditentukan. Unsur
objektif yang pertama berupa objek yang tertentu (clear and definite)
yang diperjanjikan. Prestasi merupakan pokok/objek perjanjian, sebagaimana yang
disebutkan dalam pasal 1234 KUHPerdata. Unsur objektif yang kedua yaitu substansi perjanjian adalah sesuatu
yang diperbolehkan, baik menurut undang-undang, kebiasaan, kepatutan,
kesusilaan dan ketertiban umum yang berlaku pada saat perjanjian dibuat dan
ketika akan dilaksanakan.
C.
Tugas dan Kewenangan Notaris
1.
Tugas Pokok Notaris
Bab I di
dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris menyatakan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya. Undang-undang Nomor 2 tahun
2014 tentang Jabatan Notaris tidak memberikan pengertian pasti mengenai tugas
pokok notaris.
Soegondo
Notodisoerjo mengatakan bahwa tugas pokok notaris adalah membuat akta otentik.[19]Wewenang
notaris adalah Regel atau bersifat umum, sedang pejabat lainnya adalah pengecualian.[20] Wewenang
pejabat lain untuk membuat akta hanya ada jika Undang-undang mengatur secara
tegas bahwa ada pihak tertentu yang mampu membuat akta.
2.
Kewenangan Notaris
Kewenangan
notaris diatur dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan
Notaris yang berbunyi :[21]
(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan kata, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta
itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain
yang ditetapkan oleh undang-undang.
(2) Notaris berwenang pula untuk:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian
tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar pada buku khusus;
b. Membukukan surat-surat dibawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan
berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam
surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat
aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan
pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;atau
g. Membuat akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
3.
Pemberhentian Notaris
Notaris dalam melakukan jabatannya selain dapat diberi
teguran lisan dan tertulis sesuai Pasal 7 ayat (2) huruf a dan b Undang-undang
nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, juga dapat dikenai sanksi
pemberhentian berupa pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan
pemberhentian dengan tidak hormat. Pemberhentian sementara dilakukan karena
notaris dalam proses pailit, berada dibawah pengampuan, melakukan perbuatan
tercela, melakukan pelanggaran terhadap
kewajiban dan larangan jabatan dan sedang menjalani masa penahanan seperti yang
diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
Dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-undang nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan
Notaris, pemberhentian ini dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia atas usul Majelis Pengawas Pusat.[22]
Notaris diberhentikan secara hormat sesuai Pasal 7
ayat (3) Undang-undang nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris jika
meninggal dunia, umur mencapai 65 (enam puluh lima tahun) tahun, atas permintan
sendiri, merangkap jabatan dan tidak mampu secara rohani dan atau jasmani untuk
melaksanakan tugas jabatannya terus menerus selama 3 (tiga) tahun.
Pemberhentian juga dapat terjadi secara tidak hormat
jika notaris dinyatakan pailit dengan putusan hakim, dibawah pengampuan lebih
dari 3 (tiga) tahun, melakukan perbuatan yang merendahkan jabatan dan
pelanggaran berat, sesuai Pasal 9 Undang-undang nomor 2 Tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris.
D. Pandangan Islam Terhadap Profesi Notaris
Jabatan
atau pekerjaan notaris sudah dikenal dalam Islam sejak diturunkannya Al-Qur’an.
Ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw
melalui malaikat Jibril adalah perintah membaca Iqra, yaitu yang berbunyi “dengan
nama Tuhanmu yang menciptakan”. Al-Qur’an memang tidak diturunkan secara
tertulis, namun konsekuensi perintah baca itu mengharuskan adanya tulisan.
Kemudian perintah menulis dilanjutkan dengan Surat Al-Baqarah (2) ayat 282,
yang menjelaskan apabila bertransaksi maka harus ditulis dan disaksikan oleh
dua orang saksi dan pekerjaan seorang notaris adalah menuliskan sebuah akta
otentik dari keterangan para pihak.
…وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا
عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ…
Terjemahnya:
Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya,
maka hendaklah ia menulis. (Al-Baqarah: 282)
Sebagaimana
dijelaskan di atas, janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
telah mengajarkannya, artinya seorang yang pandai menulis tidak boleh menolak
apabila diminta untuk mencatatnya buat orang lain, tiada suatu hambatan pun
baginya untuk melakukan hal ini. Sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya
apa yang belum ia ketahui sebelumnya, maka hendaklah ia bersedekah kepada orang
lain yang tidak pandai menulis melalui tulisannya.[23]
Profesi notaris dalam membuat akta
otentik harus berdasarkan alat bukti yang sah dan berdasarkan keterangan dari
para pihak. Para pihak yang ingin dibuatkan akta otentik oleh notaris juga
harus memberikan alat bukti yang sah yang diakui oleh hukum, yaitu alat bukti
berupa bukti tulisan, kesaksian, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.
Seorang notaris dalam menjalankan tugasnya dihadapkan
dengan berbagai macam karakter manusia. Salah satu penyebab yang membuat akta
notaris dibatalkan oleh badan peradilan karena keterangan atau kesaksian yang
diberikan oleh para pihak kepada notaris untuk dituangkan dalam akta otentik
adalah palsu. Hal ini juga diperkuat dalam surat Ghafir menjelaskan bahwa:
(غافر: من الآية)
إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّاب
Terjemahnya:
Sesungguhnya
Allah tidak menunjuki orang yang melampaui batas lagi pendusta (QS. Ghafir:28).
Sebagaimana penjelasan ayat di atas
mengenai pendusta, ialah orang yang berkata bohong dan memberikan keterangan
palsu. Jika dalam memberikan keterangan dihadapan notaris itu tidak benar
adanya, dan akta yang dibuat oleh notaris menimbulkan suatu perkara karena
keterangan palsu tersebut maka bukan hanya notaris saja yang dirugikan
melainkan juga para pihak yang menghadap kepada notaris.[24]
Kerugian yang dapat ditimbulkan dari keterangan palsu yang diberikan oleh para
pihak dapat berupa kekuatan pembuktian akta otentik yang dibuat oleh notaris
bisa menjadi akta dibawah tangan. Akta dibawah tangan mempunyai kekuatan
pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak adanya penyangkalan dari
salah satu pihak, jika para pihak mengakuinya maka akta di bawah tangan
tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai akta otentik. Jika
ada salah satu pihak yang tidak mengakuinya maka beban pembuktian diserahkan
kepada pihak yang menyangkal akta tersebut dan penilaian penyangkalan atas
bukti tersebut diserahkan kepada badan peradilan dalam hal ini majelis hakim. Dalam
pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang sumpah palsu
menjelaskan bahwa “barangsiapa dalam keadaan undang-undang menentukan supaya memberi
keterangan diatas sumpah, mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang
demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan
lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk
untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
E. Kerangka Konseptual
Ø UU NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG JABATAN NOTARIS
Ø PASAL 1266 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
|
FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB DIBATALKANNYA SUATU AKTA OLEH BADAN PERADILAN
Ø Akta tidak dibacakan
Ø Adanya unsur pemaksaan oleh notaris
Ø Syarat formil tidak terpenuhi
|
|
TANGGUNGJAWAB
PROFESI NOTARIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA YANG DIBUATNYA
Ø Ganti rugi yang nyata
Ø Ganti rugi yang tidak nyata
NOTARIS BERSIFAT PROFESIONAL DAN BERTANGGUNGJAWAB
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Dalam
penelitian ini penyusun menggunakan jenis penelitian empiris. Ditinjau dari
sifatnya termasuk penelitian hukum yang bersifat deskriptif, maksudnya adalah
suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data-data yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala lainnya.[1] Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu
penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang
dinyatakan informan secara tertulis atau lisan dan juga perilaku nyata, yang
diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.[2]
B.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar dalam hal
ini dibeberapa kantor Notaris. Pilihan lokasi penelitian tersebut didasarkan
pada pertimbangan penulis bahwa seluruh kegiatan dan data ada pada mereka.
Selain itu, Negara Indonesia memiliki tingkat perdagangan yang tinggi sehingga
masyarakatnya banyak menggunakan jasa notaris untuk mendapatkan legalitas
terhadap akta yang akan dibuat oleh notaris. Alasan melakukan penelitian di
kantor notaris Makassar karena notaris lebih banyak di Makassar dari pada di
kabupaten lain di Sulawesi Selatan.
C. Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
adalah:
a. Data primer
Data
primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama atau
melalui penelitian di lapangan dengan mengadakan wawancara terhadap beberapa Notaris
termasuk diantaranya seorang Majelis Pengawas Daerah Notaris dan ketua Ikatan
Notaris Indonesia wilayah Kota Makassar.
b. Data sekunder
Data
sekunder merupakan data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan,
melainkan diperoleh dari studi kepustakaan berbagai buku, arsip, dokumen,
peraturan perundang-undangan, hasil penelitian ilmiah dan bahan-bahan
kepustakaan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan didalam
penelitian ini adalah:
1. Penelitian lapangan (Field Research)
Dalam penelitian ini, penyusun menggunakan metode
penelitian sebagai berikut :
a. Interview atau wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
itu dilakukan oleh 2 pihak, yaitu pewawancara (interview) yang
mengajukan pertanya dan terwawancara (interviewer) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu.[3] Penulis
melakukan wawancara terstruktur dan mendalam dengan beberapa notaris.
2. Studi kepustakaan
Penulis mengkaji
dan mempelajari buku-buku, arsip-arsip dan dokumen maupun peraturan-peraturan
yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.
E. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian
ini, penulis memilih menggunakan analisis data secara kualitatif kemudian
dipaparkan secara deskriptif. Analisis data secara kualitatif adalah suatu tata
cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang
dinyatakan informan secara tertulis atau lisan dan juga perilaku nyata, yang
diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.
|
[1]Soesanto, Tugas, Kewajiban dan
Hak-hak Notaris Wakil Notaris (sementara), Pradnya Paramita, Jakarta, 1982,
hlm 64.
[2]Victor. M. Situmorang, Groose
Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 26.
[3]
A. Pitlo, Pembuktian dan
Daluwarsa, (Jakarta: Intermasa, 1986), h.52.
[4]
Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), h.157.
[5]
Subekti, Pokok-pokok
Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1980), h. 29.
[6]Victor. M. Situmorang, Groose
Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi , h. 36.
[7]
Lumban Tobing, Peraturan
Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1983), h. 55.
[8]
Sjaifurrachman dan Habib
Adjie, Aspek PertanggunJawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, (Bandung:
Mandar Maju, 2011), h. 99.
[9]
Republik Indonesia, Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1867.
[10] Republik Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, Pasal 1868.
[11] Republik Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, Pasal 1874.
[12] Republik Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, Pasal 1875.
[13]
Habib Adjie, Kebatalan
dan Pembatalan Akta Notaris, (Surabaya: Refika Aditama, 2010), h.18.
[14]Salim H.S, Hukum Kontrak dan
Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 43.
[15]Lumban Tobing, Peraturan
Jabatan Notaris, h. 51.
[16]Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, h.
51.
[17]
Habib Adjie, Kebatalan
dan Pembatalan Akta Notaris, (Surabaya: Refika Aditama, 2010), h. 86.
[18]
Subekti, Hukum
Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), h. 23.
[19]R. Soegondo, Hukum Notariat Indonesia, h. 8.
[20]Lumban Tobing,Peraturan Jabatan Notaris, h.
38.
[21]Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, h. 73
[22]
Republik Indonesia, “Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris”, h. 9.
[23]
Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu
Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, Juz III, (Bandung: Sinar Bandung
Algensindo, 2005), h.190.
[24]Hizbut Tahrir, Kesaksian
Bohong Dosa Besar, http://www.hizbut-tahrir.or.id.2012/02/25/kesaksian-bohong-dosa-besar/, (Diakses 25 Februari 2012).
[1]
Republik Indonesia, Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1313.
[2]Republik Indonesia, “Undang-Undang
RI Nomor 2 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (1) Perubahan atas
Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris (UUJN)”.
[3]
Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu
Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir Juz III, (Bandung: Sinar Bandung
Algensindo, 2005), h.190.
[4]
Tim Penyusun Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 297.
[5] Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, (Surabaya:
Refika Aditama ,2007), h 39.
[6]Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata
di Bidang Kenotariatan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012), h 267.
[7]Republik Indonesia, Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1868.
[8]Subekti, Hukum Pembuktian,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), h 48.
[9]
Vanezintania, Pembatalan
dan Pelaksanaan Perjanjian, (Jakarta: Mandar Maju, 2012), h 48.