Rabu, 11 April 2018

MAKALAH "PERLINDUNGAN HUKUM INVESTOR ASING DALAM PENANAMAN MODAL DI INDONESIA"


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Penanaman modal asing dapat memberikan keuntungan cukup besar terhadap perekonomian nasional, misalnya: menciptakan lowongan pekerjaan bagi penduduk tuan rumah sehingga dapat meningkatkan penghasilan dan standar hidup, menciptakan  kesempatan  bekerjasama  dengan   perusahaan lokal sehingga mereka dapat berbagi manfaat, meningkatkan ekspor sehingga meningkatkan cadangan devisa negara dan menghasilkan alih teknologi.
Hal ini menarik untuk dikaji, karena kebijaksanaan modal  asing  adalah untuk meningkatkan potensi ekspor dan substitusi impor, agar terjadi alih teknologi dan alih pengetahuan yang dapat mempercepat laju pembangunan nasional Indonesia, membuka lapangan pekerjaan dan menyerap tenaga kerja, dapat menciptakan demand bagi produk dalam negeri sebagai bahan baku, dapat menambah penghasilan negara dari sektor pajak, dapat meningkatkan akumulasi modal, melahirkan tenaga-tenaga ahli baru, memperbaiki kualitas sumber daya manusia dan menambah  pengetahuan  serta  membuka  akses  kepada  pasar  global. Dilihat  dari  sudut  pandang ini terlihat bahwa, kehadiran investor asing cukup berperan dalam pembangunan ekonomi suatu negara.
Pembicaraan mengenai latar belakang penanaman modal asing di Indonesia, berkaitan erat dengan sejarah peraturan perundang-undangan bidang penanaman modal asing yang pengaturannya sudah sejak lama mendapatkan perhatian dari pemerintah, bahkan jauh sebelum masa orde baru atau pada masa orde lama. Namun hal ini tidak dapat terlaksana, oleh karena pada  masa  itu  berkembang  anggapan  dalam  masyarakat  bahwa masuknya modal asing justru akan menghambat pertumbuhan ekonomi rakyat karena akan memeras bangsa dan sumber-sumber kakayaan alam Indonesia.
Meskipun pada dasarnya pembangunan potensi ekonomi didasarkan kepada kemampuan dan kesanggupan sendiri, namun karena keterbatasan akan hal-hal tersebut, maka akan memanfaatkan bantuan dari luar negeri melalui penananam modal asing sehingga akan terpenuhi kapital, teknologi, keahlian/skill dan bahkan  manajemen  untuk  mengolah  kekuatan  ekonomi potensil tersebut.
Bahwa prinsip utama dalam kebijaksanaan ekonomi pemerintah terletak pada peningkatan kesempatan serta kesanggupan rakyat Indonesia sendiri (swadaya) untuk pembangunan ekonomi nasionalnya. Hal mana tidak berarti bahwa secara apriori pemerintah harus menolak modal, teknologi dan bantuan luar negeri untuk ikut serta dalam pembangunan ekonomi nasional, selama partisipasi modal dan bantuan luar negeri itu dapat diabdikan   kepada pembangunan   ekonomi   serta   tidak          merugikan   pembangunan   ekonomi nasional itu.
Untuk melengkapi modal dan teknologi guna pelaksanaan  pembanguan di tanah air, pemerintah Indonesia dengan penuh pemikiran dan kewaspadaan dalam mempertimbangkan bahwa tidak merupakan tindakan di luar batas kemampuan kalau memanfaatkan potensi-potensi modal, teknologi dan skill yang tersedia di luar negeri asalkan segala sesuatunya benar-benar diabdikan kepada kepentingan ekonomi rakyat tanpa mengakibatkan ketergantungan terhadap luar negeri.
Usaha untuk menarik modal asing kembali mengemuka ketika Indonesia   mengalami   krisis   ekonomi   sejak   pertengahan   tahun     1997. Terjadinya  krisis  ekonomi ditandai dengan  beberapa  indikator,  antara lain: merosotnya  kurs  rupiah  terhadap  mata  uang  Amerika  Serikat, pendapatan perkapita penduduk merosot tajam, perusahaan mengalami kelesuan bahkan menghentikan kegiatannya dan pemutusan hubungan kerja besar-besaran.
Keanggotaan Indonesia dalam World Trade Organization (WTO) telah menyebabkan terjadinya pembaruan Undang-Undang Penanaman Modal Indonesia dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967. Dengan  diundangkannya  peraturan  baru  ini  diharapkan   bisa memberikan legal certainty (kepastian hukum) untuk menarik datangnya modal asing. Selain itu faktor economy opportunity (keuntungan ekonomi) dan political stability (stabilitas politik) juga sangat menentukan dalam mendatangkan modal asing ke suatu negara.
Sebagai konsekwensi dari terbukanya pintu bagi aktivitas modal asing di tanah air sehubungan dengan pemanfaatannya bagi proyek-proyek pembangunan, maka dengan sendirinya akan timbul masalah dan tantangan- tantangan yang harus dihadapi pemerintah bersama rakyat dengan kesungguhan, yang tidak lain agar penggunaan modal tersebut  dapat mencapai apa yang telah direncanakan dengan penuh keberhasilan. Masalah dan tantangan-tantangan tersebut yaitu: bagaimana memperbesar hasil valuta asing, baik untuk keperluan pengembalian pinjaman maupun untuk melanjutkan pembangunan; bagaimana dapatnya produksi ditingkatkan; bagaimana pendapatan perkapita ditingkatkan; bagaimana kesempatan    kerja dan lapangan kerja dapat diperluas.
Sebelum memutuskan menanamkan modalnya, investor  terlebih dahulu melakukan studi kelayakan (feasibility study) tentang prospek bisnis yang akan ia jalankan. Termasuk yang diteliti adalah ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya  dengan investasi yang akan ia jalankan. Menjadi masalah bagi investor adalah jika kerugian yang dialami bukan karena salah mengelola perusahaan, akan tetapi tidak ada perlindungan hukum, baik terhadap modal yang ia tanamkan maupun terhadap barang yang akan diproduksi.
Tataran implementasi yang harus dibenahi oleh pemerintah, bila ingin meyakinkan calon investor bahwa berinvestasi di negeri ini ada jaminan hukum. Salah satunya dengan memberikan penghormatan terhadap kontrak yang sudah disepakati, serta penyelesaian sengketa baik melalui arbitrase maupun pengadilan.
Beberapa negara yang mempunyai kepentingan dalam menarik investor seperti RRC, Vietnam, India dan beberapa negara ASEAN (Malaysia Thailand dan Philipina) dan negara-negara Amerika Latin juga memiliki berbagai keunggulan, bahkan melebihi Indonesia, seperti tenaga kerja yang lebih murah di India, Vietnam dan RRC. Andalan-andalan tadi semakin diperlemah akibat adanya kenyataan bahwa pasar dunia menjadi lebih terbuka dan semakin majunya  perundingan-perundingan  perdagangan internasional serta gencarnya upaya untuk mencabut berbagai sistem proteksi.
Keberadaan investasi yang ditanamkan oleh investor, terutama modal asing, ternyata memberikan dampak positif dalam pembangunan nasional. Adi Harsono mengemukakan dampak adanya investasi asing atau  perusahaan  asing mencakup:
1.    Masalah gaji.
Perusahaan asing membayar gaji pegawainya lebih tinggi dibandingkan gaji rata-rata nasional
2.    Perusahaan asing menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan perusahaan domestic sejenis.
3.    Perusahaan asing tidak segan-segan mengeluarkan biaya di bidang pendidikan, pelatihan dan bidang penelitian di Negara dimana mereka menanamkan investasinya.
4.    Perusahaan asing cenderung mengekspor lebih banyak dibandingkan perusahaan domestic.
Pengaturan penanaman modal yang ada dalam Undang-Undang Penanaman Modal merupakan hasil evaluasi terhadap ketentuan penanaman modal yang ada sebelumnya dengan memperhatikan sikap dan  keinginan serta harapan para investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia, Tentunya  dengan tetap  memperhatikan kepentingan  nasional di atas segala kepentingan para penanam modal yang bersangkutan.
B.   Permasalahan
1.    Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia?
2.    Bagaimana perlindungan hukum investor asing dalam penanaman modal di Indonesia?





BAB II
PEMBAHASAN

A.   Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Investor Asing
Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya keengganan masuk investasi ke Indonesia pada saat ini. Faktor-faktor yang dapat menjadi pendukung masuknya arus investasi ke suatu negara, seperti jaminan keamanan, stabilitas politik, dan kepastian hukum, tampaknya menjadi suatu permasalahan tersendiri bagi Indonesia.   Bahkan otonomi daerah yang sekarang diterapkan di Indonesia dianggap menjadi permasalahan baru dalam kegiatan investasi di beberapa daerah.
Apabila seorang investor asing akan menanamkan modalnya pada suatu negara, tentunya banyak aspek yang harus dipertimbangkan sebagai faktor yang menentukan bagi invest-nya tersebut. Secara garis besar faktor yang dimaksudkan, dapat dikategorikan atas tiga bagian berikut:
1.    Faktor politik
Investor mau datang ke suatu negara sangat dipengaruhi faktor political stability (stabilitas politik). Terjadinya konflik elite politik atau konflik masyarakat akan berpengaruh terhadap iklim investasi. Penanam modal asing akan datang dan mengembangkan usahanya jika Negara yang bersangkutan terbangun proses stabilitas politik dan proses demokrasi yang konstitusional.
Faktor politik merupakan aspek yang sangat diperhatikan investor asing manakala mereka akan menanamkan modalnya pada suatu negara. Faktor ini sangat menentukan adanya iklim usaha yang kondusif bagi usaha-usaha penanaman modal asing. Apabila suhu politik dalam negeri tidak stabil, sudah barang tentu investor asing tidak akan berminat untuk menanamkan modalnya pada suatu negara yang mengalami suhu politik yang tidak stabil. Kenyataan menunjukkan bahwa pada tahun 1997 dan tahun 1998, dimana keadaan politik dalam negeri Indonesia yang tidak menentu, dapat diketahui bahwa jumlah investasi asing di Indonesia  adalah menurun dan sangat sepi. Hal ini disebabkan suhu politik dalam negeri yang tidak menentu, sehingga menimbulkan keraguan bagi pihak investor asing untuk menginvestasikan modalnya.
2.    Faktor Ekonomi
Untuk menarik modal asing dibutuhkan adanya keuntungan ekonomi bagi investor, seperti dekat dengan sumber daya alam, tersedia bahan baku, tersedianya lokasi untuk mendirikan pabrik yang cukup, tersedianya tenaga kerja yang murah dan pasar yang prospektif. Ditinjau dari aspek ekonomi, Indonesia secara umum masih memiliki keunggulan alamiah dan komparatif, seperti: pertama, negeri yang sangat luas dengan kekayaan alam yang melimpah, sumber daya alam Indonesia masih cukup banyak. Kedua, jumlah penduduk sangat besar yang membentuk pasar dan potensi tenaga kerja yang murah. Dengan melihat beberapa potensi, Indonesia  masih  menjadi tempat  tujuan penanaman  modal yang menarik bagi investor asing meskipun penegakan keamanan dan kepastian hukum masih dipertanyakan banyak pihak.
3.    Faktor Hukum
Faktor hukum atau aspek juridis juga merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan para investor asing yang ingin menanamkan modalnya pada suatu negara. Hal ini, terutama berkaitan dengan perlindungan yang diberikan pemerintah nasional bagi kegiatan investasi asing di negaranya dalam bentuk perlindungan hukum. Menurunnya  wibawa  hukum  dalam  negeri  akan mempengaruhi minat investor asing untuk menanamkan modalnya pada suatu negara.
Daya tarik investor asing untuk melakukan investasi di Indonesia akan sangat tergantung pada sistem hukum yang diterapkan. Sistem hukum itu harus mampu menciptakan kepastian, keadilan dan efisiensi. Bahkan dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini, ketiga unsur tersebut menjadi kian bertambah penting, antara lain dengan berkembangnya mekanisme pasar.
Minat investor asing untuk menanamkan modalnya, selain dipengaruhi situasi di dalam negeri sebagaimana diuraikan di atas, juga dipengaruhi kondisi eksternal antara lain, tanda-tanda akan terjadinya resesi ekonomi diseluruh dunia. Resesi yang melanda negara-negara di dunia, yang saat ini mulai muncul tanda-tandanya, akan menjadi penghalang utama bagi masuknya  investor  asing  ke  dalam  negeri.
B.   Perlindungan Hukum Investor Asing Dalam Penanaman Modal di Indonesia
Menurut survey Political and Economic Risk (PERC), ada 7 (tujuh) faktor yang mempengaruhi iklim investasi di Indonesia, antara lain, kemudahan mendirikan usaha, ada atau tidaknya diskriminasi terhadap investasi asing yang baru masuk. Disamping itu, dilihat juga dari ada atau tidaknya perlakuan yang sama untuk investor asing yang sudah masuk dengan pelaku usaha lokal. Selanjutnya, juga akan dilihat transparansi dalam persetujuan investasi dan izin investasi dan mekanisme bagi investor untuk menyampaikan keluhannya kepada pemerintah dan tingkat responsivitas pemerintah dalam menanggapi keluhan-keluhan investor. Meskipun demikian,  dalam pandangan investor Perancis, iklim investasi di Indonesia cukup kondusif, terutama karena besarnya jumlah penduduk Indonesia.
Pada tahun 2003, Kantor Menko Perekonomian, Badan Pusat Statistik, World Bank, dan Asian Development Bank melakukan studi tentang iklim investasi dan produktivitas di Indonesia. Beberapa catatan penting dari hasil studi  tersebut,  antara  lain: Pertama,  perusahaan  asing  lebih  merasakan hambatan bisnis dibandingkan perusahaan domestik. Hal ini menyangkut masalah perpajakan, ketenagakerjaan, kepastian kebijakan ekonomi dan peraturan, stabilitas makro, dan masalah hukum. Kedua, lebih dari 60% (enam puluh persen) perusahaan yang disurvei beranggapan bahwa infrastruktur yang ada kurang efisien. Ketiga, korupsi sangat dirasakan pengusaha yang dilakukan aparat pusat dan daerah masing-masing mencapai 5% (lima persen) dari total penjualan. Keempat, manajemen perusahaan harus menyisihkan  5%-6%  waktu  mereka  untuk  berurusan  dengan aparat pusat dan daerah. Kelima, ketidakpastian hukum masih menonjol karena masih sering terlibat korupsi. Keenam, pungutan tidak resmi di Jakarta lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Ketujuh, hambatan utama dalam berinvestasi di Indonesia berkaitan dengan ketidakpastian. Kedelapan, pendirian dan penutupan usaha di Indonesia merupakan yang paling lama  dan mahal dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Berdasarkan UUPM Nomor 25 Tahun 2007 perlindungan hukum diberikan kepada investor asing dengan tanpa membedakan asal negara. Dalam penyelesaian sengketa penanaman modal berdasarkan ketentuan Pasal 32 UUPM menyebutkan:
(1)  Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat;
(2)  Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak  tercapai,   penyelesaian   sengketa   tersebut dapat dilakukan  melalui  arbitrase  atau  alternatif  penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)  Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.
(4)  Dalam  hal  terjadi  sengketa  di  bidang  penanaman  modal  antara Pemerintah   dengan   penanam   modal   asing,   para   pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.


BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
1.    Faktor-faktor yang mempengaruhi investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, yaitu karena adanya faktor politik, factor ekonomi dan factor hukum.
2.    Pemerintah telah menjamin perlindungan hukum bagi investor asing dalam menanamkan modal di Indonesia yang berdasarkan Pasal 32 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
B.   Saran
1.    Penanaman modal asing tetap tidak terlepas  dari  peran  serta  pemerintah sebagai lembaga yang mengeluarkan kebijakan bagi penanaman modal. Untuk itu infrastruktur, alih teknologi, stabilitas politik dan ekonomi yang stabil serta kepastian   hukum dalam penanaman modal asing harus lebih ditingkatkan guna meningkatkan pertumbuhan pembangunan nasional.
2.    Dalam melakukan perlindungan hukum bagi investor asing, pemerintah sebaiknya tidak membeda-bedakan satu Negara dengan Negara yang lainnya.


MACAM-MACAM PENAFSIRAN HUKUM


Penafsiran autentik

Penafsiran autentik atau penafsiran resmi yaitu suatu penafsiran hukum yang secara resmi terhadap maksud dari ketentuan suatu peraturan hukum dimuat dalam peraturan hukum itu sendiri karena penafsiran tersebut secara asli berasal dari pembentuk hukum itu sendiri.

Contoh penafsiran autentik adalah :
  • Penafsiran kata “malam” yang dalam Pasal 98 KUHP ditegaskan sebagai “masa di antara matahari terbenam dan matahari terbit”.
  • Penafsiran tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia yang dalam Pasal 1 Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 ditegaskan caranya, yaitu dengan cara “ditembak”.
Penafsiran gramatikal

·         Penafsiran gramatikal yaitu suatu penafsiran hukum yang didasarkan pada maksud pengertian perkataan-perkataan yang tersusun dalam ketentuan suatu peraturan hukum, dengan catatan bahwa pengertian maksud perkataan yang lazim bagi umumlah dipakai sebagai jawabannya.

·         Contoh penafsiran gramatikal adalah dalam Pasal 1 Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia hanya menegaskan bahwa pelaksanaan hukuman mati dengan cara ditembak. Tetapi meskipun demikian, secara gramatikal tentunya dapat ditafsirkan bahwa penembakan itu bukanlah asal sembarang tembak, melainkan penembakan yang menyebabkan kematian terpidana, atau dengan kata lain terpidana ditembak sampai mati.


Penafsiran analogis

·         Penafsiran analogis adalah penafsiran hukum yang menganggap suatu hal yang belum diatur dalam suatu hukum sebagai hal atau disamakan sebagai hal yang sudah diatur dalam hukum tersebut, karena hal ini memang bisa dan perlu dilakukan.

·         Contoh penafsiran analogis adalah tenaga listrik atau aliran listrik yang sebenarnya bukan berwujud barang dianggap sama dengan barang atau ditafsirkan sama, sehingga pencurian tenaga listrik atau aliran listrik dapat dihukum, meskipun dalam undang-undang masalah pencurian listrik tersebut belum diatur.
Penafsiran sistematis

·         Penafsiran sistematis yaitu penafsiran hukum yang didasarkan atas sistematika pengaturan hukum dalam hubungannya antarpasal atau ayat dari peraturan hukum itu sendiri dalam mengatur masalahnya masing-masing.

·         Contoh penafsiran sistematis adalah pengertian tentang “makar” yang diatur dalam Pasal 87 KUHP secara sistematis dapat ditafsirkan sebagai dasar bagi pasal-pasal 104-108 KUHP, Pasal 130 KUHP, dan Pasal 140 KUHP yang mengatur tentang aneka macam makar beserta sanksi hukumnya masing-masing bagi para pelakunya.


Penafasiran sosiologis

·         Penafsiran sosiologis adalah penafsiran hukum yang didasarkan atas situasi dan kondisi yang dihadapi dengan tujuan untuk sedapat mungkin berusaha untuk menyelaraskan peraturan-peraturan hukum yang sudah ada dengan bidang pengaturannya berikut segala masalah dan persoalan yang berkaitan di dalamnya, yang pada dasarnya merupakan masalah baru bagi penerapan peraturan hukum yang bersangkutan.
·         Contoh penafsiran sosiologis adalah orang yang dengan sengaja melakukan penimbunan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat secara sosiologis dapat ditafsirkan sebagai telah melakukan tindak pidana ekonomi, yakni tindak pidana kejahatan untuk mengacaukan perekonomian masyarakat, meskipun tujuan orang itu hanyalah untuk mencari laba yang sebesar-besarnya untuk dirinya sendiri.


Penafsiran historis

·         Penafsiran historis adalah penafsiran hukum yang dilakukan terhadap isi dan maksud suatu ketentuan hukum yang didasarkan pada jalannya sejarah yang mempengaruhi pembentukan hukum tersebut.

·         Contoh penafsiran historis adalah dalam Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda tidak dikenal adanya adopsi  atau pengangkatan anak, kecuali bagi golongan Timur Asing Cina. Hal ini secara historis bisa disa ditafsirkan dari sejarah kehidupan Bangsa Belanda sendiri yang pada mulanya hidup bermarga-marga di mana ikatan keturunan darah asli dalam suatu marga menjadi pegangan dasar kehidupan mereka. Akibatnya, demi keaslian keturunan marga tersebut, maka mereka tidak membenarkan adanya adopsi.


Penafsiran ekstensif

·         Penafsiran ekstensif yaitu suatu penafsiran hukum yang bersifat memperluas ini pengertian suatu ketentuan hukum dengan maksud agar dengan perluasan tersebut, hal-hal yang tadinya tidak termasuk dalam ketentuan hukum tersebut sedangkan ketentuan hukum lainnya pun belum ada yang mengaturnya, dapat dicakup oleh ketentuan hukum yang diperluas itu.

·         Akibatnya masalah-masalah yang ditimbulkan oleh hal-hal tersebut dapat dipecahkan dengan menggunakan ketentuan hukum yang isinya telah diperluas melalui penafsiran ini, sehingga tidak perlu lagi repot-repot disusun suatu ketentuan hukum yang baru lagi, yang khusus dibuat hanya untuk mengatur hal-hal baru yang itu saja.

·         Contoh penafsiran ekstensi adalah Pasal 100 KUHP yang memperluas pengertian “kunci palsu” dengan menegaskan : “yang masuk sebutan kunci palsu yaitu sekalian perkakas yang gunanya tidak untuk pembuka kunci itu”.


Penafsiran restriktif

·         Penafsiran restriktif adalah penafsiran hukum yang pada dasarnya merupakan lawan atau kebalikan dari penafsiran ekstensif.

·         Kalau penafsiran ekstensif bersifat memperluas pengertian suatu ketentuan hukum, maka penafsiran restriktif justru bersifat meretriksi atau membatasi atau memperkecil pengertian suatu ketentuan hukum dengan maksud agar dengan pembatasan tersebut, ruang lingkup pengertian ketentuan hukum tersebut tidak lagi menjadi terlalu luas sehingga kejelasan, ketegasan dan kepastian hukum yang terkandung di dalamnya akan lebih mudah diraih.

·         Akibatnya dalam penerapan dan pelaksanaannya, ketentuan hukum tersebut akan lebih mengena terhadap sasarannya karena memang maknanya sendiri telah dibatasi dan diarahkan secara khusus kepada masalah yang menjadi sasaran pengaturannya.

·         Contoh penafsiran restriktif adalah Pasal 15 ayat 3 KUHP yang membatasi dan menegaskan pengertian “masa percobaan” dengan menetapkan : “tempo percobaan itu tidak dihitung selama kemerdekaan si terhukum dicabut dengan sah”.


Penafsiran a contrario

·         Penafsiran a contrario adalah penafsiran hukum yang didasarkan pada pengertian atau kesimpulan yang bermakna sebaliknya dari isi pengertian ketentuan hukum yang tersurat.

·         Contoh penafsiran a contrario adalah Pasal 77 KUHP yang menegaskan bahwa  hak (penuntut) untuk menuntut hukum terhadap tertuduh menjdi gugur bila si tertuduh meninggal dunia.

·         Jadi, secara a contrario atau kebalikannya dapat ditafsirkan bahwa kalau si tertuduh belum meningggal, hak penuntut untuk menuntut atas dirinya belumlah gugur, sepanjang tidak adanya hal-hal lain yang juga dapat menggugurkan hak penuntutan tersebut (seperti yang diatur Pasal 78 KUHP).

Penafsiran penyamaan atau penafsiran pengangkatan

·         Penafsiran penyamaan atau penafsiran pengangkatan adalah penafsiran hukum yang sifatnya mengangkat kedudukan hal-hal yang lebih rendah derajatnya dan menyamakannya dengan hal-hal yang lebih tinggi derajatnya, yang tujuannya juga untuk penegasan kepastian hukum.

·         Contoh penafsiran penyamaan adalah penafsiran hukum yang menyamakan kedudukan Perpu dengan kedudukan undang-undang dalam keadaan darurat.

Tesis "GANTI RUGI HAK ATAS TANAH DALAM PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM" (STUDI KASUS BADAN PERTANAHAN NASIONAL KOTA MAKASSAR)



BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Bagi manusia, khususnya pemilik tanah yang akan digunakan tanahnya untuk pembangunan, bangsa atau kepentingan umum, maka persoalan yang sangat utama yang perlu dikaji adalah ganti rugi atas tanah. Ganti rugi terhadap pembangunan fasilitas-fasilitas umum yang melibatkan tanah rakyat memerlukan tanah sebagai wadahnya, menghadapi masalah di perkotaan saat ini karena jumlah tidak bertambah, sehingga nilai tanah semakin meningkat, sementara kebutuhan atas tanah-tanah semakin besar. Disisi lain yang menjadi permasalahan kompleks adalah hampir semua bidang tanah dimiliki oleh subjek hukum dalam berbagai bentuk hak atas tanah dapat dijadikan objek pengadaan tanah untuk pembangunan.
Nilai ekonomis atas tanah semakin meningkat. Pemilik tanah yang hanya mempunyai lahan satu-satunya, namun hendak dibebaskan untuk kepentingan umum tentu merasa kehilangan atau bahkan semakin menjadi miskin. Terlebih lagi jika tanahnya yang digunakan untuk kepentingan umum itu dihargai dengan harga yang minim atau tidak sesuai.
Misalnya dalam kasus dugaan penyelewengan dalam proses pengadaan tanah di kota Makassar yaitu terkait pembangunan Gedung Olah Raga (GOR) yang terletak di Sudiang, Makassar. Pembayaran ganti rugi tanah Gedung Olah Raga (GOR) Sudiang tahun 2007 kepada lima orang warga diketahui menyimpang berdasarkan putusan Mahkamah Agung terhadap salah seorang penerima ganti rugi sejumlah Rp. 1,6 miliar ternyata palsu. Pemberian ganti rugi tanah kepada warga diketahui menyimpang, salah satunya dengan pembayaran kepada warga yang menggunakan Akta Jual Beli (AJB) palsu.[1]
Pengadaan tanah bagi pemenuhan kebutuhan untuk pembangunan di Indonesia semakin meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun sebagai tempat untuk kegiatan usaha. Sehubungan dengan hal tersebut akan meningkat pula kebutuhan akan dukungan berupa jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan. Pemberian jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan memerlukan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah bagi rakyat Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-undang Pokok Agraria yang kita kenal dengan UUPA. UUPA merupakan Hukum Agraria atau tanah Nasional Indonesia. Tujuannya adalah akan mewujudkan apa yang digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, bahwa:
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Intensitas pembangunan yang semakin meningkat dan keterbatasan persediaan tanah membawa dampak semakin sulitnya memperoleh tanah untuk berbagai keperluan, melonjaknya harga tanah secara tidak terkendali dan kecenderungan perkembangan penggunaan tanah secara tidak teratur, terutama di daerah-daerah strategis. Melonjaknya harga tanah membuat pemerintah semakin sulit melakukan pembangunan untuk penyediaan prasarana dan kepentingan umum.
Seiring dengan perkembangan masyarakat dan untuk meperlancar jalannya pembangunan untuk kepentingan umum, di satu pihak pemerintah memerlukan tanah yang cukup luas. Para pihak lain memegang hak atas tanah yang akan digunakan tanahnya oleh pemerintah untuk kepentingan pembangunan tidak boleh dirugikan. Untuk mengatur hal tersebut diperlukan adanya suatu peraturan hukum yang dapat diterima oleh masyarakat.
Pengaturan hukum tentang pemberian ganti rugi atas pengadaan tanah bagi kepentingan umum dan segala pengaturan yang terkait di Indonesia telah mengalami proses perkembangan sejak unifikasi Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Meskipun demikian sampai saat ini masih saja terjadi masalah pemberian ganti rugi atas pengadaan tanah untuk pembangunan.
Berkaitan dengan dasar pemberian ganti rugi bagi pembangunan untuk kepentingan umum, pengadaan tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 sampai dengan sekarang telah berlaku Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah melalui PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, kemudian dicabut dan diganti dengan KEPPRES No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Kemudian dicabut dan diganti dengan PERPRES No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, lalu diubah dengan PERPRES No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Namun dengan berlakunya ketentuan tersebut dalam proses pelaksanaannya tetap menimbulkan konflik dalam masyarakat. Kemudian Perpres No. 65 Tahun 2006 dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan dikaitkan dengan Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Kepentingan umum harus diutamakan dari kepentingan individu, hal ini juga berlaku terhadap pengadaan tanah untuk pembangunan. Apabila kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan umum, maka yang ditempuh adalah jalan akhir, yaitu pencabutan hak atas tanah. Pencabutan hak ini adalah jalan akhir dari semua proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Sebelumnya Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum telah ditentukan secara tegas bahwa bentuk pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, hanya ditegaskan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan. Tidak dicantumkannya secara tegas cara pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara pencabutan adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur musyawarah gagal . Hal ini ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan tanah harus ditempuh terlebih dahulu sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah.
Dalam hal pembebasan tanah terdapat dua kepentingan yang seimbang. Pemegang hak atas tanah tentu menginginkan sejumlah ganti rugi dari pemerintah sebagai pelaksana pembangunan. Dengan alasan dua kepentingan yang berbeda, persoalan akan tanah semakin rumit. Dalam hal ini tentu diperlukan pemecahan permasalahan pertanahan yang harus mendasarkan kepada kedua kepentingan yang berbeda tadi, sehingga disamping itu terlaksananya pembangunan yang diprogramkan, tetap terpelihara hubungan yang harmonis antara pemerintah dan rakyat untuk meningkatkan pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Pembebasan tanah sering dilakukan tidak atas dasar persetujuan para pihak pemegang hak, baik mengenai besar maupun bentuk ganti rugi yang diberikan terhadap tanahnya.[2] Jadi perbuatan ini haruslah didasarkan oleh kesukarelaan pemegang hak. Bagaimana jika si pemegang hak tidak bersedia untuk menyerahkan tanahnya, maka pihak pemerintah melalui panitia tanah khusus untuk itu harus mengusahakan agar diserahkannya tanah tersebut.
Proses pembebasan tanah tidak akan lepas dengan masalah pemberian ganti rugi, maka perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala data dan keterangan yang diajukan dalam mengadakan taksiran pemberian ganti rugi. Apabila telah tercapai suatu kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, maka baru diadakan pemberian ganti rugi kemudian dilanjutkan dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan.
Jauh sebelum lahirnya tentang ketentuan ganti kerugian sebagai jalan untuk menyelesaikan konflik antara pemilik dan pengelolaan tanah, Islam telah mengatur sedemikian rupa untuk dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat. Allah berfirman dalam QS al-Baqarah /2:36.
...ö/ä3s9ur Îû ÇÚöF{$# @s)tGó¡ãB ìì»tFtBur 4n<Î) &ûüÏm ÇÌÏÈ


Terjemahnya:
 “…dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."[3]
Kemudian Allah berfirman dalam QS al- Nisã’/4:30.
`tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ $ZRºurôãã $VJù=àßur t$öq|¡sù ÏmŠÎ=óÁçR #Y$tR 4 tb%Ÿ2ur šÏ9ºsŒ n?tã «!$#
#·ŽÅ¡o ÇÌÉÈ
Terjemahnya:
 “Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”[4]
Hal ini menunjukkan bahwa masalah tanah yang berujung pada soal ganti rugi harus diselesaikan secara hukum dan moral hak rakyat yang paling dasar. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis namun berfungsi sosial, juga nilai yuridis dan etis, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut harus mengalah guna kepentingan umum. Ini dilakukan dengan pelepasan hak atas tanah dengan mendapat ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi juga berbentuk tanah atau fasilitas lain.
Persoalan yang kemudian muncul adalah selain masalah ganti rugi yang tidak sesuai, juga disebabkan karena pemilik tanah kehilangan terhadap satu-satunya sarana penghidupan. Untuk memperoleh tanah pengganti tanah yang dibebaskan, ternyata ganti rugi tidak cukup untuk memperoleh atau membeli tanah yang luas dan tingkat strategis yang sama. Bahkan sering terjadi pembebasan tanah hanya sebagai kedok saja.
Menarik untuk ditelaah mengenai penerapan pemberian ganti rugi dalam pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Apakah ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum telah melindungi hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh rakyat dan tidak condong membela kepentingan Pemerintah, bahkan cenderung memihak pada pemilik proyek pembangunan itu. Dilatarbelakangi oleh pembicaraan-pembicaraan awal tersebut, maka menjadi penting dan sangat menarik bagi penulis untuk meneliti dan menganalisis masalah tersebut ke dalam tesis yang berjudul “Ganti Rugi Hak Atas Tanah Dalam Pembangunan Untuk Kepentingan Umum”.
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.    Bagaimana prosedur pengadaan tanah dan pemberian ganti rugi kepada pemilik hak atas tanah dalam pembangunan untuk kepentingan umum?
2.    Bagaimana solusi jika terjadi ketidaksepakatan dalam pemberian ganti rugi antara pemilik tanah dengan pemerintah?
C.   Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui dan menganalisis prosedur pengadaan tanah dan pemberian ganti rugi kepada pemilik hak atas tanah dalam pembangunan untuk kepentingan umum.
2.    Untuk mengetahui dan menganalisis solusi jika terjadi ketidaksepakatan dalam pemberian ganti rugi antara pemilik tanah dengan pemerintah.
D.   Manfaat Penelitian
1.    Diharapkan dapat menjadi media pengetahuan dan wawasan baru bagi para mahasiswa/mahasiswi yang berminat mengkaji problematika pemberian ganti rugi terhadap pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
2.    Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan Hukum Perdata khususnya Hukum Pertanahan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.


[1] Julkifli Marbun, “Berkas Korupsi GOR Sudiang Makassar Rampung”, Republika. Co.Id. 14 Februari  2014.  http://m.republika.co.id /berita/nasional/hukum /14/02/14/n0zw7v-berkas-korupsi-gor-sudiang-makassar-rampung (1  Desember 2014).

[2] Adrian Sutedi, 2008, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Cet.II,Sinar Grafika, Jakarta, h.118.
[3] Kementerian Agama RI, 2013, Al-Qur’an Terjemah Tafsiryah. Edisi IV, Ma’had Nabawi, Yogyakarta, h.8.
[4] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Tafsiryah, h. 98.





BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.   Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian difokuskan pada Kantor Kementrian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Makassar. Untuk maksud tersebut terlebuh dahulu digambarkan kota Makassar sebagai berikut;
Berdasarkan data primer yang diperoleh pada Kantor BPS Kota Makassar diketahui bahwa Kota Makassar merupakan Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Letak Kota Makassar berada pada koordinat antara Timur dan 119 C 18 17  – 119 32 31,03  Bujur Timur dan 5 3  30,18 - 5  14  16,49 Lintang Selatan.
Luas wilayah administrasi Kota Makassar kurang lebih 175,77 km2 (17,577 ha) dengan rincian bahwa 140 km (140 ha) berada pada dataran kepulauan dan sekitar 174,37 km2 (17,43 ha) adalah dataran pulau Sulawesi dengan batas sebagai berikut:
-          Sebelah Utara berbatasan dengan Kepulauan Pangkep
-          Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Maros
-          Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa
-          Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar
Wilayah Kota Makassar yang berbatasan langsung dengan Selat Makassar mempunyai garis pantai sepanjang 32 km yang membentang dari arah Selatan ke Utara, membujur kea rah Timur Laut. Wilayahnya mencakup beberapa pulau, diantaranya ada 13 pulau yang mempunyai nama, yaitu: Pulau Kayangan, Pulau Lae-lae, Pulau Lanjukang, Pulau Langkai, Pulau Lumu-lumu, Pulau Bone Batang, Pulau Barang Lompo, Pulau Barangkeke, Pulau Kodingarenglompo, Pulau Samalona dan Pulau-pulau kecil lainnya.
Luas wilayah Kota Makassar adalah 17.577 Ha. Secara umum konfigurasi bentuk wilayah Kota Makassar termasuk datar dan menurut morfologi regional merupakan deretan pegunungan Lompobattang yang berelief rendah. Keadaan topogratifinya datar hingga berombak dengan ketinggian berkisar antara 0-25 meter di atas permukaan laut. Satuan relief di daerah ini pada umumnya ditutupi alluvium hasil sedimentasi rawa, pantai dan sungai serta material hasil gunung api, dengan kemiringan lereng 0-2 %. Bentuk lahan adalah hasil bentukan asal aluvial di beberapa tempat mempunyai ketinggian yang sangat rendah dari permukaan laut sehingga sering tergenang dan merupakan rawa-rawa. Bentuk lahan ini dijumpai di sekitar muara Sungai Tallo dan Sungai Jeneberang yang secara geomorfologi dikategorikan sebagai dataran banjir sungai. Selanjutnya daerah yang mempunyai bentuk topografi berombak sebagai bagian terkecil dari wilayah Kota Makassar hanya di jumpai di Wilayah Utara dan Timur yang secara administrasi termasuk Kecamatan Biringkanaya.
Secara administrative Kota Makassar sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, mempunyai luas wilayah 17.577 Ha atau 0,28 % dari luas wilayah Sulawesi Selatan, terdiri dari 14 Kecamatan, 143 Kelurahan. Dari 14 Wilayah Kecamatan, Kecamatan Tamalate yang merupakan wilayah terluas yaitu: 1,997 Ha dan Kecamatan Mariso yang merupakan wilayah Kecamatan terkecil dengan luas wilayah: 0,182 Ha.
B.   Kantor Pertanahan Kota Makassar
Kantor pertanahan adalah instansi vertical Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten/Kota yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Provinsi.
1.    Kantor pertanahan dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya sebagai berikut:
a.    Menyusun rencana, program dan penganggaran dalam rangka pelaksanaan tugas pertanahan;
b.    Pelayanan, perijinan dan rekomendasi di bidang pertanahan;
c.    Pelaksanaan survey pengukuran dan pemetaan dasar, pengukuran dan pemetaan bidang, pembukuan tanah, pemetaan tematik dan survey potensi tanah;
d.    Pelaksanaan penatagunaan tanah, landreform, konsolidasi tanah dan penataan pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan  wilayah tertentu;
e.    Pengusulan dan pelaksanaan penetapan hak tanah, pendaftaran hak tanah, pemeliharaan data pertanahan dan administrasi asset pemerintah;
f.     Pelaksanaan pengendalian pertanahan, pengelolaan tanah Negara, tanah terlantar dan tanah-tanah kritis, peningkatan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat;
g.    Penanganan konflik, sengketa  dan perkara pertanahan;
h.    Pengkoordinasian pemangku kepentingan pengguna tanah;
i.      Pengelolaan sistem informasi Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS);
j.      Pemberian penerangan dan informasi pertanahan kepada masyarakat, pemerintah dan swasta;
k.    Pengkoordinasian penelitian dan pengembangan;
l.      Pengkoordinasian pengembangan sumberdaya manusia pertanahan;
m.   Pelaksanaan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, sarana dan prasarana perundang-undangan serta pelayanan pertanahan.
2.    Visi, misi, motto dan maklumat pelayanan
a.    Visi
Bersertifikatnya seluruh bidang tanah dalam wilayah kota Makassar.
b.    Misi
1)    Meningkatkan penyelesaian sertifikat hak atas tanah;
2)    Meningkatkan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan kepemilikan tanah yang efektif;
3)    Memberikan jaminan-jaminan kepastian hukum dan kepastian hak serta perlindungan hukum kepada masyarakat dan investor;
4)    Mendukung peningkatan ekonomi masyarakat dalam rangka mewujudkan Makassar sebagai kota maritim, niaga, pendidikan, budaya dan jasa yang berorientasi global, berwawasan lingkungan dan paling bersahabat.
c.    Motto
Pelayanan ketuk pintu, tiada hari tanpa penyerahan sertifikat.
d.    Janji/maklumat pelayanan, dengan ini menyatakan sanggup:
1)    Memberikan layanan sesuai norma standar, prosedur dan criteria;
2)    Bekerja dengan jujur, tertib, disiplin dan tidak diskriminatif;
3)    Memberikan kemudahan dalam memberikan informasi yang diperlukan sesuai ketentuan yang berlaku;
4)    Merespon dengan cepat keluhan penggunaan layanan pertanahan;
5)    Melakukan inovasi pelayanan untuk memenuhi standar pelayanan prima.
C.   Prosedur Pengadaan Tanah dan Pemberian Ganti Rugi Tanah
Menurut hasil wawancara penulis dengan bapak Dr. Muhallis Mentja S.S.iT.,M.H selaku Kepala Seksi Pengadaan Tanah bahwa penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum terbagi menjadi beberapa tahap, yaitu sosialisasi atau musyawarah, pendataan pemilik tanah, pengukuran, penilaian besaran ganti rugi oleh tim Appraisal, rapat para pemilik tanah dan penyerahan hasil atau pembayaran ganti rugi.
Penjelasan lebih lanjut dijelaskan dalam Undang-undang No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui 4 (empat) tahapan, diantaranya:
1.    Tahap pemberitahuan rencana pembangunan
Dalam tahap perencanaan  pihak instansi yang memerlukan tanah membuat Rencana Pengadaan Tanah yang disusun dalam bentuk Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah. Setelah lengkap, instansi yang memerlukan tanah tersebut menyampaikan kepada Gubernur (dalam hal ini Gubernur dimana Provinsi rencana pengadaan tanah dilaksanakan) kemudian disampaikan kepada masyarakat di lokasi rencana pembangunan.
2.    Tahap persiapan pengadaan tanah
Setelah dokumen rencana pengadaan tanah diterima oleh Gubernur, maka Gubernur membentuk Tim Persiapan Pengadaan Tanah paling lama 10 hari kerja. Oleh karena itu Tim Persiapan Pengadaan Tanah memiliki tugas, yaitu:
a.    Melaksanakan Pemberitahuan Rencana Pembangunan
Pemberitahuan rencana pembangunan dilaksanakan dalam waktu paling lama 20 hari kerja sejak dokumen perencanaan pengadaan tanah diterima secara resmi oleh Gubernur. Pemberitahuan dilakukan dengan cara sosialisasi atau tatap muka atau dengan surat pemberitahuan (secara langsung atau tidak langsung).[1]
b.    Melakukan Pendataan Awal Lokasi Rencana Pembangunan
Pendataan awal lokasi rencana pembangunan meliputi pengumpulan data awal pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah. Pendataan awal lokasi rencana pembangunan dilaksanakan oleh tim persiapan pengadaan tanah berdasarkan dokumen perencanaan pengadaan tanah dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan. Hasil pendataan tersebut dituangkan ke dalam Daftar Sementara Lokasi Rencana Pembangunan yang akan digunakan sebagai data untuk pelaksanaan konsultasi publik rencana pembangunan.
c.    Konsultasi Publik Rencana Pembangunan
Konsultasi publik dilaksanakan oleh tim persiapan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang berhak. Apabila rencana pembangunan akan mempunyai dampak khusus, konsultasi publik dapat melibatkan masyarakat yang akan terkena dampak pembangunan secara langsung. Dalam konsultasi publik, tim persiapan akan menjelaskan rencana pengadaan tanah kepada pihak yang berhak dan pihak dan pihak yang terkena dampak. Pelaksanaan konsultasi publik dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 60 hari kerja yang dihitung mulai tanggal ditandatanganinya Daftar Sementara Lokasi Rencana Pembangunan. Kemudian hasil kesepakatan atas lokasi rencana pembangunan dituangkan dalam berita acara kesepakatan. 
Apabila dalam konsultasi publik terdapat pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak atau kuasanya tidak sepakat atau keberatan atas rencana lokasi pembangunan, maka dilaksanakan konsultasi publik ulang. Konsultasi ulang tersebut dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja sejak tanggal berita acara kesepakatan dalam konsultasi publik ulang.[2]
Dalam hal konsultasi publik ulang masih terdapat pihak yang keberatan atas lokasi rencana pembangunan, instansi yang memerlukan tanah melaporkan keberatan kepada Gubernur melalui tim persiapan. Untuk menindaklanjuti keberatan tersebut, Gubernur tim kajian keberatan untuk melakukan kajian atas keberatan lokasi rencana pembangunan.
Adapun tugas tim kajian tersebut sebagai berikut:
1)    Menginventarisasi masalah yang menjadi keberatan.
Inventarisasi masalah yang menjadi alasan keberatan berupa:
a)    Klasifikasi jenis dan alasan keberatan
b)    Klasifikasi pihak yang keberatan
c)    Klasifikasi usulan pihak yang keberatan
Inventarisasi masalah tersebut disusun dalam bentuk dokumen keberatan.
2)    Melakukan pertemuan dan klarifikasi dengan pihak yang keberatan. Pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan dilakukan untuk:
a)    Menyamakan persepsi tentang materi atau alasan keberatan pihak yang keberatan.
b)    Menjelaskan kembali maksud dan tujuan rencana pembangunan.
3)    Membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan. Rekomendasi tersebut didasarkan atas hasil kajian dokumen keberatan yang diajukan oleh pihak yang keberatan terhadap:
a)    Rencana tata ruang wilayah, dan
b)    Prioritas pembangunan yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah, rencana strategis dan rencana kerja pemerintah instansi yang bersangkutan.
Rekomendasi yang dibuat oleh tim ditandatangani oleh ketua tim kajian dan disampaikan pada Gubernur. Berdasarkan rekomendasi tim kajian tersebut, Gubernur mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas lokasi rencana pembangunan. Surat tersebut disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah dan pihak yang keberatan, maka instansi yang memerlukan tanah membatalkan rencana pembangunan dan memindahkan lokasi ketempat yang lain. Penanganan keberatan oleh Gubernur terhadap pihak yang keberatan dilakukan paling lama 14 hari kerja sejak diterimanya keberatan.
a.    Menyiapkan Penetapan Lokasi Pembangunan
Penetapan lokasi pembangunan dilakukan oleh Gubernur berdasarkan kesepakatan atas lokasi rencana pembangunan dalam konsultasi publik yang dituangkan dalam berita acara kesepakatan dan kesepakatan atas lokasi rencana pembangunan dalam konsultasi publik atau ditolaknya keberatan dari pihak yang keberatan sebagaimana berdasarkan rekomendasi tim kajian keberatan.
Penetapan lokasi pembangunan berlaku untuk jangka waktu 2 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali untuk paling lama 1 tahun. Dalam hal diperlukan, instansi yang memerlukan tanah atas pertimbangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional mengajukan permohonan perpanjangan waktu penetapan lokasi pembangunan kepada Gubernur, dalam waktu paling lambat 2 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu penetapan lokasi pembangunan. Permohonan tersebut disertai dengan keputusan penetapan lokasi dan pertimbangan pengajuan perpanjangan yang berisikan alasan pengajuan perpanjangan, data pengadaan tanah yang telah dilaksanakan dan data sisa tanah yang belum dilaksanakan pengadaan tanahnya. Atas dasar permohonan perpanjangan penetapan lokasi tersebut, Gubernur menetapkan perpanjangan lokasi sebelum berakhirnya jangka waktu penetapan lokasi pembangunan. Dalam hal jangka waktu lokasi pembangunan untuk kepentingan umum tidak terpenuhi, dilaksanakan proses ulang terhadap sisa tanah yang belum selesai pengadaannya dan proses ulang tersebut dimulai dari tahap perencanaan.
b.    Mengumumkan Penetapan Lokasi Pembangunan
Gubernur bersama instansi yang memerlukan tanah mengumumkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum. Pengumuman lokasi pembangunan tersebut memuat nomor dan tanggal keputusan penetapan lokasi, peta lokasi pembangunan, maksud dan tujuan pembangunan, letak dan luas tanah yang dibutuhkan, perkiraan jangka waktu pembangunan.
Pengumuman penetapan lokasi pembangunan dilaksanakan dengan cara:
1)    Ditempelkan di Kantor Kelurahan/ Desa atau nama lain, kantor Kecamatan, dan/atau Kantor Kabupaten/Kota dan di lokasi pembangunan. Pengumuman penetapan lokasi dilakukan selama kurang 14 hari kerja.
2)    Diumumkan melalui media cetak dan/atau media elektronik. Pengumuman tersebut dilaksanakan melalui surat kabar harian local dan nasional paling sedikit 1 kali penerbitan pada hari kerja dan pengumuman melalui media elektronik dilaksanakan melalui laman (website) Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota atau Instansi yang memerlukan tanah.
Pengumuman penetapan lokasi pembangunan dilaksanakan paling lambat 3 hari kerja sejak dikeluarkan penetapan lokasi pembangunan.
c.    Melaksanakan tugas lain yang terkait persiapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang ditugaskan oleh Gubernur.
Gubernur dapat mendelegasikan kewenangan pelaksanaan persiapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum kepada Bupati/Walikota berdasarkan pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi geografis, sumber daya manusia dan pertimbangan lainnya. Pelaksanaan persiapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan mutaris mutandis sesuai Pasal 8 sampai dengan Pasal 46 PERPRES 71/2012.[3]
Dalam hal pelaksanaan persiapan pengadaan tanah dilakukan oleh Bupati/Walikota berdasarkan pendelegasian, permohonan perpanjangan waktu penetapan lokasi pembangunan diajukan oleh instansi yang memerlukan tanah kepada Bupati/Walikota atas pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan. Permohonan perpanjangan tersebut diajukan oleh instansi yang memerlukan tanah kepada Bupati/Walikota dalam jangka waktu paling lambat 2 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu penetapan lokasi pembangunan.
3.    Tahap pelaksanaan pengadaan tanah;
Pelaksanaan pengadaan tanah diselenggarakan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional dan dilaksanakan oleh Kepala Wilayah Badan Pertanahan Nasional selaku Ketua Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum pada tahap persiapan pengadaan tanah, instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan tanah kepada Ketua Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
Pengajuan pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilengkapi dengan:
a.    Keputusan penetapan lokasi
b.    Dokumen perencanaan pengadaan tanah
c.    Data awal pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah.
Pelaksanaan pengadaan tanah meliputi:[4]
1)    Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Inventarisasi dan identifikasi dilakukan oleh satuan tugas yang dibentuk oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah. Kegiatannya meliputi:
a)    Data fisik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
b)    Pengumpulan data pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah.
Selanjutnya yang termasuk ke dalam pihak yang berhak, yaitu:
a)    Pemegang hak atas tanah
b)    Pemegang Hak Pengelolaan (HPL)
c)    Nadzir untuk tanah wakaf
d)    Pemilik tanah bekas milik adat
e)    Masyarakat hukum adat
f)     Pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik, dan/atau
g)    Pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.
Kegiatan inventarisasi dan identifikasi tersebut dilaksanakan dalam waktu paling lambat 30 hari kerja. Hasil inventarisasi dan identifikasi data pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah dibuat dalam bentuk peta bidang tanah dan daftar normatif. Hasil tersebut wajib diumumkan di kantor desa/ kelurahan, kantor kecamatan setempat dan tempat pengadaan tanah dilakukan dalam waktu paling lambat 14 hari kerja.
Dalam hal terdapat keberatan atas hasil inventarisasi dan identtifikasi dilakukan verifikasi dan perbaikan dalam jangka waktu 14 hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan keberatan. Hasil pengajuan atau verifikasi dan perbaikan atas inventarisasi dan identifikasi selanjutnya menjadi dasar penentuan pihak yang berkah dalam pemberian ganti kerugian.
2)    Penilaian ganti kerugian
Setelah dilakukannya inventarisasi dan identifikasi, selanjutnya dilakukan penilaian ganti kerugian. Penetapan ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai/penilai publik. Jasa penilai/penilai publik tersebut diadakan dan ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah. Pelaksanaan pengadaan penilai dilaksanakan dalam jangka waktu 30 hari kerja.
Penilai bertugas melakukan penilaian besarnya ganti kerugian bidang per bidang tanah yang meliputi:[5]
a.    Tanah
b.    Ruang atas dan bawah tanah
c.    Bangunan
d.    Tanaman
e.    Benda yang berkaitan dengan tanah dan/atau
f.     Kerugian yang lain yang dapat dinilai
Tugas penilai dalam melaksanakan besarnya ganti kerugian bidang per bidang tanah tersebut dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak ditetapkannya penilai oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.
Nilai ganti rugi yang dinilai oleh penilai disampaikan kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dengan berita acara penyerahan hasil penilaian dan selanjutnya dijadikan dasar untuk menetapkan ganti kerugian dalam musyawarah penetapan ganti kerugian.
3)    Musyawarah penetapan ganti kerugian
Setalah dilakukan penilaian, maka selanjutnya dilaksanakan musyawarah oleh Pelaksana Pengadaan Tanah beserta instansi yang memerlukan tanah dengan pihak yang berhak dalam jangka waktu 30 hari kerja.[6] Musyawarah dilaksanakan untuk menetapkan bentuk ganti kerugian oleh penilai. Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak. Apabila pihak yang berhak telah diundang secara patut tidak hadir dalam musyawarah, maka pihak yang berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian yang telah ditetapkan oleh Pelaksana Pengadaan Tanah.
Pada hakikatnya pemberian ganti kerugian diberikan langsung kepada pihak yang berhak, namun dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan Pengadilan Negeri/ Mahkamah Agung, maka ganti kerugian dititipkan di pengadilan Negeri setempat.
Pemberian ganti kerugian dibuat dalam berita acara pemberian ganti kerugian yang dilampiri dengan daftar pihak yang berhak menerima ganti kerugian, bentuk dan besarnya ganti kerugian yang telah diberikan, daftar dan bukti pembayaran/kwitansi dan berita acara pelepasan hak atas tanah atau penyerahan tanah. Pada saat pemberian ganti kerugian, pihak yang berhak menerima ganti kerugian wajib melakukan pelepasan hak dan menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan objek pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah melalui Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.
Dalam hal pihak yang berhak membutuhkan ganti kerugian dalam keadaan mendesak, maka Pelaksana Pengadaan Tanah memprioritaskan pemberian ganti kerugian. Ganti kerugian dalam hal mendesak tersebut diberikan maksimal 25 persen dari perkiraan ganti kerugian yang didasarkan atas NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) tahun sebelumnya yang telah ditetapkan oleh penilai atau nilai yang ditetapkan oleh putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemberian sisa ganti kerugian dilakukan bersamaan dengan pelepasan hak objek pengadaan tanah.
Untuk objek pengadaan tanah yang dimiliki/dikuasai pemerintah pusat daerah tidak diberikan ganti rgi, kecuali terdapat bangunan yang dipergunakan secara aktif untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan atau objek pengadaan tanah merupakan tanah kas desa. Untuk objek pengadaan tanah yang dimiliki dikuasai oleh BUMN diberikan ganti kerugian.
4)    Pelepasan hak objek pengadaan tanah
Setelah dilaksanakan pemberian ganti rugi, maka selanjutnya ialah dilakukan pelepasan hak objek pengadaan tanah yang dilaksanakan oleh pihak yang berhak di hadapan Kepala Kantor Pertanahan setempat yang dituangkan dalam berita acara pelepasan hak objek pengadaan tanah. Dalam hal pelepasan objek pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang dimiliki oleh pemerintah dilakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Untuk objek pengadaan tanah yang dikuasai oleh pemerintah atau dikuasai/dimiliki oleh BUMN atau BUMD.
5)    Pemutusan hubungan hukum antara pihak yang berhak dengan objek pengadaan tanah
Setelah objek pengadaan tanah diberikan ganti kerugian atau ganti kerugian telah dititipkan di Pengadilan Negeri atau yang telah dilaksanakan pelepasan hak objek pengadaan tanah, hubungan hukum antara pihak yang berhak dan tanahnya hapus demi hukum. Kepala Kantor Pertanahan melakukan pencatatan hapusnya hak tersebut pada buku tanah dan daftar umum pendaftaran tanah lainnya dan selanjutnya memberitahukan kepada pihak yang terkait.
6)    Pendokumentasian peta bidang, daftar normative dan data administrasi pengadaan tanah
Pelaksana pengadaan tanah melakukan pengumpulan, pengelompokan, pengolahan dan penyimpanan data pengadaan tanah yang meliputi peta bidang tanah, data normatif dan administrasi.
Data pengadaan tanah berupa:[7]
-          Dokumen perencanaan pengadaan tanah
-          Surat pemberitahuan rencana pembangunan
-          Data awal subjek dan objek
-          Undangan dan daftar hadir konsultasi publik
-          Berita acara kesepakatan konsultasi publik
-          Surat keberatan
-          Rekomendasi tim kajian
-          Surat Gubernur (hasil rekomendasi)
-          Surat keputusan penetapan lokasi pembangunan
-          Pengumuman penetapan lokasi pembangunan
-          Surat pengajuan pelaksanaan pengadaan tanah
-          Berita acara inventaris dan identifikasi
-          Peta bidang objek pengadaan tanah dan daftar normatif
-          Pengumuman daftar normatif
-          Berita acara perbaikan dan verifikasi
-          Daftar nominatif yang sudah disahkan
-          Dokumen pengadaan nilai
-          Dokumen hasil penilaian pengadaan tanah
-          Berita acara penyerahan hasil penilaian
-          Undangan dan daftar hadir musyawarah penetapan ganti kerugian
-          Berita acara kesepakatan musyawarah penetapan ganti kerugian
-          Putusan Pengadilan Negeri/ Mahkamah Agung
-          Berita acara pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak
-          Alat bukti penguasaan dan pemilikan objek pengadaan tanah
-          Surat permohonan penitipan ganti kerugian
-          Penetapan Pengadilan Negeri penitipan ganti kerugian
-          Berita acara penitipan ganti kerugian
-          Berita acara penyerahan hasil pengadaan tanah
-          Dokumentasi dan rekaman
Keseluruhan data tersebut di atas disimpan, didokumentasikan dan diarsipkan oleh Kepala Kantor Pertanahan setempat dibuat salinan rangkap 2 dan/atau dapat disimpan dalam bentuk data elektronik. Dokumen asli dan 1 salinan data diserahkan kepada instansi yang memerlukan tanah sedangkan 1 salinan lainnya menjadi dokumen di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional atau Kantor Pertanahan setempat.


4.    Tahap penyerahan hasil pengadaan tanah.
Setelah dilakukannya ganti kerugian dan pelepasan hak objek pengadaan tanah, Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah menyerahkan hasil pengadaan tanah berupa bidang tanah dan dokumen pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah disertai dengan data pengadaan tanah paling lama 7 hari kerja sejak dilakukan pelepasan hak objek pengadaan tanah. Setelah dilakukan serah terima hasil pengadaan tanah, maka instansi yang memerlukan dapat langsung menggunakan untuk melaksanakan pembangunan dan wajib mendaftarkan tanah yang diperolehnya tersebut.
D.   Solusi Jika Terjadi Ketidaksepakatan Antara Pemilik Tanah Dengan Pemerintah
Seiring arus industrialisasi masuk di Indonesia, tepatnya dimulai pada fase ekonomi politik di tahun 1830, paradigma masyarakat mulai berubah yang tadinya menjunjung tinggi kolektivitas kini menjadi individualistik. Sebagai bagian dari hukum agraria nasional, peraturan pengadaan tanah harus mengacu pada tujuan hukum agraria nasional dengan prinsip keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan apabila tanahnya dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, melainkan wajib pula memperhatikan kepentingan umum.
Seperti yang kita ketahui sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 bahwa setiap pemberian ganti rugi ini masih berpatokan kepada harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).  Kesadaran para pemilik tanah dalam mengorbankan tanahnya untuk kepentingan umum dinilai masih rendah, terbukti setiap ada pembebasan tanah, para pemilik tanah masih mengharapkan ganti kerugian sebesar mungkin dengan harapan setelah tanahnya dibebaskan, para pemilik tanah tidak akan terlantar. Keluhan dan harapan pemilik tanah ini belum terdengar sepenuhnya oleh pihak pemerintah.
Masalah-masalah lain yang sering timbul mengenai pengadaan tanah dalam pembangunan untuk kepentingan umum ini bukan hanya karena besaran ganti kerugian saja yang dinilai rendah oleh pemilik tanah namun kurangnya pemahaman masyarakat mengenai tata cara yang dilakukan untuk menempuh jalur hukum apabila keberatan dengan ganti kerugian yang diberikan oleh pemerintah tersebut, sehingga masyarakat lebih memilih tidak memberikan hak atas tanahnya, namun tidak sedikit pula dari masyarakat yang lebih memilih untuk mewakafkan tanahnya karena tidak ingin berlarut-larut dalam masalah kepemilikan tanah yang mengharuskan untuk berurusan dengan pemerintah.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 pada tanggal 1 Januari 2015, penentuan bentuk dan besaran ganti rugi hak atas tanah ini di tentukan oleh juru taksir (Tim Appraisal). Tim Appraisal sendiri ditetapkan oleh lembaga pertanahan. Usaha jasa penilai (Tim Appraisal) sudah eksis sejak tahun 1970-an. Jasa penilai ini banyak dimanfaatkan untuk kepentingan investasi yang kala itu mulai marak. Pelan tapi pasti, profesi ini akhirnya berkembang. Pemerintah juga melihat pentingnya mengatur dan memberikan kepastian hukum kepada profesi penilai, maka lahirlah Keputusan Menteri Perdagangan No. 161/VI/77 yang mengatur izin usaha jasa penilai di Indonesia. Pada tahun 2008 lalu, Menteri Keuangan kemudian menerbitkan Peraturan No. 125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik. Dalam beleid terakhir ini, usaha jasa penilai yang berbentuk perseroan terbatas diubah menjadi Kantor Jasa Penilai Publik, sehingga Appraisal lebih dianggap sebagai pemberi jasa.
Tim Appraisal bukan hanya perlu memahami tugas-tugas teknisnya saja, tetapi juga perlu tahu aturan yang berlaku serta butuh pemahaman kontrak yang benar dan memahami teknis hukum bidang di mana ia memberikan jasanya. Tim Appraisal bisa mendapatkan hal tersebut melalui pendidikan dan pelatihan.
Adanya Tim Appraisal ini tidak menjamin besaran ganti rugi dan  juga tidak menjamin akan timbulnya masalah dalam menentukan ganti rugi. Tim Appraisal dalam menentukan ganti rugi sampai saat ini tidak memiliki acuan, sehingga hasil ganti rugi yang ditaksirkan tidak selamanya akan diterima oleh Panitia Pengadaan Tanah (P2T). Dalam hal ini, Panitia Pengadaan Tanah (P2T) memiliki otoritas dalam penerimaan atau penolakan hasil kerja Tim Appraisal. Kesimpulannya, untuk penentuan besar dan bentuk ganti rugi masih merupakan kewenangan dari Panitia Pengadaan Tanah (P2T) dengan mendengarkan rekomendasi dari Tim Appraisal.
Menurut Dr. Muhallis Mentja S.S.iT.,MH, pembebasan tanah memiliki 2 bagian, yaitu pembebasan tanah skala kecil dan pembebasan tanah skala besar. Pembebasan tanah skala besar yaitu yang memiliki luas 5 hektar atau lebih dari 5 hektar harus menggunakan Panitia Pengadaan Tanah (P2T), sedangkan pembebasan tanah skala kecil, yaitu tanah yang memiliki luas kurang dari 5 hektar tidak harus menggunakan Panitia Pengadaan Tanah (P2T), namun tidak menjadi masalah jika tetap ingin menggunakan Panitia Pengadaan Tanah (P2T) tersebut.
Setelah Panitia Pengadaan Tanah (P2T) menerima rekomendasi dari Tim Appraisal, kemudian P2T menyampaikan hasil tersebut kepada pemilik tanah yang menjadi objek pengadaan tanah dengan cara musyawarah dan pemilik tanah memiliki otoritas untuk menolak usulan dari harga yang ditaksir oleh Tim Appraisal. Akan tetapi P2T telah menyampaikan besarnya ganti rugi kepada pemilik tanah, dan pemilik tanah dalam hal ini menolak besarnya ganti rugi yang diusulkan oleh Tim Appraisal maka, Gubernur dan Menteri dapat melaporkan kepada Presiden sesuai dengan ketentuan yang berlaku.[8]
Apabila tidak tercapai kesepakatan dalam musyawarah tersebut, maka pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah ditetapkannya ganti kerugian di dalam musyawarah tersebut.
Selanjutnya Pengadilan Negeri menetapkan putusan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan gugatan. Dalam hal pihak masih keberatan atas Putusan Pengadilan Negeri, dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak mengetahui adanya Putusan, dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung RI.
Mahkamah Agung RI wajib menetapkan Putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Putusan Pengadilan/MA RI yang telah berkekuatan hukum tetap menjadi dasar pemberian ganti kerugian. Adapun pihak yang menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, namun tidak mengajukan keberatan dalam waktu yang telah ditentukan, demi hukum dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian yang dimaksud.
Pemilik tanah yang menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan Pengadilan/ Mahkamah Agung Republik Indonesia, maka pemerintah dapat melakukan pemaksaan dalam bentuk pencabutan hak berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan/atau Benda-benda yang Ada di Atasnya, menyebutkan ” Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan/atau benda-benda yang ada di atasnya. Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang berada di atasnya dapat dilakukan apabila tanah dan/atau benda-benda yang berada di atasnya dibutuhkan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula untuk kepentingan pembangunan.”[9] Namun pemilik yang berhak tetap diberi  ganti kerugian yang dititipkan (konsinyasi) di Pengadilan Negeri setempat.
Selain hal-hal tersebut di atas, konsinyasi juga dapat dilakukan apabila pihak yang berhak tidak diketahui keberadaannya, objek pengadaan tanah yang diberikan ganti kerugian sedang menjadi objek perkara di Pengadilan, objek tersebut kepemilikannya masih disengketakan, objek tersebut diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang ataupun sedang menjadi jaminan di bank.
Sejalan dengan wawancara yang dilakukan penulis kepada 20 responden yang merupakan masyarakat atau pemegang hak atas tanah, didapatkan data 15 responden atau 75% pemilik tanah memilih untuk mewakafkan tanahnya dengan berbagai alasan, seperti tidak mengetahui langkah-langkah hukum yang dapat diambil jika ingin melakukan keberatan, tidak ingin berurusan dengan pemerintah dan lebih kepada ingin mendapatkan amal jariyah atas tanahnya yang digunakan untuk kepentingan umum. Sedangkan 5 responden lainnya atau 25% pemilik tanah tidak ingin memberikan tanahnya karena bentuk dan besar ganti kerugian yang ditawarkan oleh pemerintah dianggap tidak sesuai dengan harga pasar.
  
             



[1] Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Bab IV, Pasal 16.
[2] Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Bab IV, Pasal 18, ayat (2).

[3] Republik Indonesia, Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Bab III, Pasal 8- Pasal 46.
[4] Republik Indonesia, Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Bab III, Pasal 55.
[5] Republik Indonesia, Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Bab IV, Pasal 33.
[6] Republik Indonesia, Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Bab IV, Pasal 37.
[7] Republik Indonesia, Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, bab III, pasal 109.


[8]Mudakkir Iskandar Syah, Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum, Permata Aksara, Jakarta, 2014, h. 80.
[9] Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya, Pasal 1.



BAB V
PENUTUP
A.   Kesimpulan
1.    Prosedur pengadaan tanah dan pemberian ganti rugi yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tidak sepenuhnya memihak pada rakyat atau pada pihak yang berhak. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada jalan lain bagi pihak yang berhak selain menerima hak atas tanahnya dicabut demii pengadaan tanah bagi kepentingan umum walaupun ganti kerugian yang ditawarkan oleh pemerintah tidak sesuai.
2.    Apabila terjadi ketidaksepakatan antara pihak pemerintah dan pihak yang berhak atau pemilik tanah, maka pihak yang berhak terkait pemberian ganti kerugian yang ditawarkan oleh pemerintah dapat melakukan langkah-langkah hukum untuk membela haknya, yaitu dengan mengajukan keberatan dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 14 (empat belas) harii kerja setelah ditetapkannya besar dan bentuk ganti kerugian.
B.   Saran
            Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan yang telah diteliti, maka diajukan saran, yaitu:
1.    Diharapkan pemerintah mengatur lebih lanjut tentang standarisasi pemberian ganti kerugian terhadap pengadaan tanah bagii pembangunan untuk kepentingan umum, karena besar dan bentuk ganti kerugian terhadap pengadaan tanah tidak diatur dengan jelas dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sehingga terwujud keadilan bagi pemegang hak atas tanah dan terpenuhinya pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah.
2.    Diharapkan bagi pemilik hak atas tanah untuk mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi sehingga dalam proses pengadaan tanah ini lebih mudah mencapai kesepakatan dalam musyawarah yang dilakukan oleh pemerintah dengan masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA

A.   Buku-Buku


Abdurrachman, Masalah Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Cet. 2, Bandung: Alumni, 1983.


______________, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Bandung: Alumni, 1983.


Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Chandra Pratama, 1996.


__________, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicalprudence), Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Volume 1 Pemahaman Awal. Jakarta: Kencan, 2009.


Bernard, Limbong, Hukum Agraria Nasional, Jakarta: Margaretha Pustaka, 2012.


Boedi, Harsono, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional, Cet.I; Jakarta: Djambatan, 2003.


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi IV. Jakarta: PT. Gramedia, 2012.


Erwiningsih, Winahyu, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Yogyakarta; Total Media, 2009.


Friedman M Lawrence, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Bandung: Nusa Media, 2009.


Harsono, Budi, Sejarah, Isi dan Pelaksanaan UUPA, Jakarta: Djambatan, 2009.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 2005.


Hutagalung, Arie Sukanti, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, Jakarta: Rajawali, 2008.


John, Selindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 1988.


_________, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 1988.


_________, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 1987.


Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung: Pustaka Setia, 2011.


Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Tafsiryah, Edisi IV. Yogyakarta: Ma’had Nabawi, 2013.


Leback, Karen. 1986. Six Theories of Justice, Augsbung Publishing House. Terj. Yudi Santoso dan Ahmad Mustofa, Teori-Teori Keadilan. Bandung: penerbit Nusa Media.


Limbong, Bernhard, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta Selatan: Mergaretha Pustaka, 2011.


Mahendra, Menguak Masalah Hukum, Demokrasi dan Pertanahan, Cet. I, Jakarta: Sinar Harapan, 1996.


Mertokusumo Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Kelima, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2010.


___________________ dan Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta: Citra Aditya Bakti, 1991.
Mochammad, Tauchid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Ed. 1, Cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.


Mudakkir, Iskandar Syah, Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum, Jakarta: Permata Aksara, 2014.


Murad, Rusmadi, Administrasi Pertanahan Pelaksanaan Hukum Pertanahan Dalam Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2012.


Notonegoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Jakarta: Pancuran Tujuh.


Paton, A Textbook of Jurisprudence, Oxford University Press, 1969.


Perlindungan A.P, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Studi Perlindungan, Bandung: Mandar Maju, 1993.


_______________, Konversi Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Mandar Maju, 1990.


Raharjo Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.


Rubaie, Ahmad, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Malang: Bayumedia, 2007.


Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Bandung: Citra Adiya Bakti, 1993.


Santpso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Edisi Pertama, Cet. 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.


Sarkawi, Hukum Pembebasan Tanah Hak Milik Adat Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.

Sitorus, Oloan, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004.


Soedaharyo, Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.


Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.


________________. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.


Soesangobeng, Herman, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan dan Agraria, Yogyakarta: STPN, 2012.


Soimin, Shoedaryo, Status Hak dan Pengadaan Tanah, Jakarta: Sinar Grafika, 1993.


________________, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Edisi Kedua, Cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.


Suhardi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.


Sumardajono, Maria, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta: Kompas, 2008.


Sutedi, Adrian, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.


Syarief, Elza, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, Jakarta: PT. Gramedia, 2012.


Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Wartaya, Winangun, Tanah Sumber Nilai Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2004.


Zein, Ramli, Hak Pengelolaan dalam Sistem UUPA, Jakarta: PT. Rineka, 1995.


B.   Makalah/ Artikel/ Karya Ilmiah

Julkifli, Marbun, “Berkas Korupsi GOR Sudiang Makassar Rampung”, Republika.co.id, 14 Februari 2014, http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/02/14/n0zw7v-berkas-korupsi-gor-sudiangmakassar-rampung, (1 Desember 2014).

Dian Pratama Putra, Tanah dalam Perspektif Islam, http://Guardyan.blogspot.in/2012/12/makalah-tanah-dalam-perspektifislam.html?m=1, 2015.

C.   Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan/atau Benda-benda yang Ada di Atasnya.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.