BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Bagi manusia, khususnya pemilik
tanah yang akan digunakan tanahnya untuk pembangunan, bangsa atau kepentingan
umum, maka persoalan yang sangat utama yang perlu dikaji adalah ganti rugi atas
tanah. Ganti rugi terhadap pembangunan fasilitas-fasilitas umum yang
melibatkan tanah rakyat memerlukan tanah sebagai wadahnya, menghadapi masalah
di perkotaan saat ini karena jumlah tidak bertambah, sehingga nilai tanah
semakin meningkat, sementara kebutuhan atas tanah-tanah semakin besar. Disisi
lain yang menjadi permasalahan kompleks adalah hampir semua bidang tanah
dimiliki oleh subjek hukum dalam berbagai bentuk hak atas tanah dapat dijadikan
objek pengadaan tanah untuk pembangunan.
Nilai ekonomis atas tanah semakin
meningkat. Pemilik tanah yang hanya mempunyai lahan satu-satunya, namun hendak
dibebaskan untuk kepentingan umum tentu merasa kehilangan atau bahkan semakin
menjadi miskin. Terlebih lagi jika tanahnya yang digunakan untuk kepentingan
umum itu dihargai dengan harga yang minim atau tidak sesuai.
Misalnya
dalam kasus dugaan penyelewengan dalam proses pengadaan tanah di kota Makassar
yaitu terkait pembangunan Gedung Olah Raga (GOR) yang terletak di Sudiang,
Makassar. Pembayaran ganti rugi tanah Gedung Olah Raga (GOR) Sudiang tahun 2007
kepada lima orang warga diketahui menyimpang berdasarkan putusan Mahkamah Agung
terhadap salah seorang penerima ganti rugi sejumlah Rp. 1,6 miliar ternyata
palsu. Pemberian ganti rugi tanah kepada warga diketahui menyimpang, salah satunya
dengan pembayaran kepada warga yang menggunakan Akta Jual Beli (AJB) palsu.
Pengadaan
tanah bagi pemenuhan kebutuhan untuk pembangunan di Indonesia semakin
meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun sebagai tempat untuk kegiatan
usaha. Sehubungan dengan hal tersebut akan meningkat pula kebutuhan akan
dukungan berupa jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan. Pemberian jaminan
kepastian hukum dibidang pertanahan memerlukan tersedianya perangkat hukum yang
tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan
jiwa dan isi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam
rangka mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah bagi rakyat Indonesia,
pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Undang-undang Pokok Agraria yang kita kenal dengan UUPA. UUPA merupakan Hukum
Agraria atau tanah Nasional Indonesia. Tujuannya adalah akan mewujudkan apa
yang digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, bahwa:
“Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang penguasaannya ditugaskan
kepada Negara Republik Indonesia harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.”
Intensitas
pembangunan yang semakin meningkat dan keterbatasan persediaan tanah membawa
dampak semakin sulitnya memperoleh tanah untuk berbagai keperluan, melonjaknya
harga tanah secara tidak terkendali dan kecenderungan perkembangan penggunaan
tanah secara tidak teratur, terutama di daerah-daerah strategis. Melonjaknya
harga tanah membuat pemerintah semakin sulit melakukan pembangunan untuk
penyediaan prasarana dan kepentingan umum.
Seiring
dengan perkembangan masyarakat dan untuk meperlancar jalannya pembangunan untuk
kepentingan umum, di satu pihak pemerintah memerlukan tanah yang cukup luas.
Para pihak lain memegang hak atas tanah yang akan digunakan tanahnya oleh
pemerintah untuk kepentingan pembangunan tidak boleh dirugikan. Untuk mengatur
hal tersebut diperlukan adanya suatu peraturan hukum yang dapat diterima oleh
masyarakat.
Pengaturan hukum tentang pemberian ganti
rugi atas pengadaan tanah bagi kepentingan umum dan segala pengaturan yang
terkait di Indonesia telah mengalami proses perkembangan sejak unifikasi
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Meskipun demikian sampai saat ini masih saja terjadi masalah pemberian ganti
rugi atas pengadaan tanah untuk pembangunan.
Berkaitan
dengan dasar pemberian ganti rugi bagi pembangunan untuk kepentingan umum,
pengadaan tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 sampai dengan sekarang
telah berlaku Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah
dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan
pemerintah melalui PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) No. 15 Tahun 1975
tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, kemudian
dicabut dan diganti dengan KEPPRES No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Kemudian dicabut dan
diganti dengan PERPRES No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, lalu diubah dengan PERPRES No.
65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum. Namun dengan berlakunya ketentuan tersebut dalam proses
pelaksanaannya tetap menimbulkan konflik dalam masyarakat. Kemudian Perpres No.
65 Tahun 2006 dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan dikaitkan dengan
Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Kepentingan
umum harus diutamakan dari kepentingan individu, hal ini juga berlaku terhadap
pengadaan tanah untuk pembangunan. Apabila kepentingan individu berbenturan
dengan kepentingan umum, maka yang ditempuh adalah jalan akhir, yaitu
pencabutan hak atas tanah. Pencabutan hak ini adalah jalan akhir dari semua
proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Sebelumnya
Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum telah ditentukan secara tegas bahwa bentuk pengadaan
tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara
pencabutan hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No. 65 Tahun 2006
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
hanya ditegaskan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan. Tidak
dicantumkannya secara tegas cara pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No.
65 Tahun 2006 bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara pencabutan
tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara pencabutan adalah cara
paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur musyawarah gagal . Hal ini
ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan tanah harus ditempuh
terlebih dahulu sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah.
Dalam
hal pembebasan tanah terdapat dua kepentingan yang seimbang. Pemegang hak atas
tanah tentu menginginkan sejumlah ganti rugi dari pemerintah sebagai pelaksana
pembangunan. Dengan alasan dua kepentingan yang berbeda, persoalan akan tanah
semakin rumit. Dalam hal ini tentu diperlukan pemecahan permasalahan pertanahan
yang harus mendasarkan kepada kedua kepentingan yang berbeda tadi, sehingga
disamping itu terlaksananya pembangunan yang diprogramkan, tetap terpelihara
hubungan yang harmonis antara pemerintah dan rakyat untuk meningkatkan
pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945.
Pembebasan
tanah sering dilakukan tidak atas dasar persetujuan para pihak pemegang hak,
baik mengenai besar maupun bentuk ganti rugi yang diberikan terhadap tanahnya. Jadi perbuatan ini
haruslah didasarkan oleh kesukarelaan pemegang hak. Bagaimana jika si pemegang
hak tidak bersedia untuk menyerahkan tanahnya, maka pihak pemerintah melalui
panitia tanah khusus untuk itu harus mengusahakan agar diserahkannya tanah
tersebut.
Proses
pembebasan tanah tidak akan lepas dengan masalah pemberian ganti rugi, maka
perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala data dan keterangan
yang diajukan dalam mengadakan taksiran pemberian ganti rugi. Apabila telah
tercapai suatu kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, maka baru
diadakan pemberian ganti rugi kemudian dilanjutkan dengan pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan.
Jauh
sebelum lahirnya tentang ketentuan ganti kerugian sebagai jalan untuk
menyelesaikan konflik antara pemilik dan pengelolaan tanah, Islam telah
mengatur sedemikian rupa untuk dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat. Allah berfirman dalam QS al-Baqarah
/2:36.
...ö/ä3s9ur Îû ÇÚöF{$# @s)tGó¡ãB ìì»tFtBur 4n<Î) &ûüÏm ÇÌÏÈ
Terjemahnya:
“…dan bagi kamu ada tempat
kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."
Kemudian Allah berfirman dalam QS al-
Nisã’/4:30.
`tBur ö@yèøÿt y7Ï9ºs $ZRºurôãã $VJù=àßur t$öq|¡sù ÏmÎ=óÁçR #Y$tR 4 tb%2ur Ï9ºs n?tã «!$#
#·Å¡o ÇÌÉÈ
Terjemahnya:
“Dan barangsiapa berbuat demikian dengan
melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka.
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Hal ini menunjukkan bahwa masalah tanah yang berujung pada soal ganti rugi harus diselesaikan
secara hukum dan moral hak rakyat yang paling dasar. Tanah disamping mempunyai
nilai ekonomis namun berfungsi sosial, juga nilai yuridis dan etis, oleh karena
itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut harus mengalah guna kepentingan
umum. Ini dilakukan dengan pelepasan hak atas tanah dengan mendapat ganti rugi
yang tidak berupa uang semata akan tetapi juga berbentuk tanah atau fasilitas
lain.
Persoalan yang kemudian muncul adalah selain masalah ganti
rugi yang tidak sesuai, juga disebabkan karena pemilik tanah kehilangan
terhadap satu-satunya sarana penghidupan. Untuk memperoleh tanah pengganti
tanah yang dibebaskan, ternyata ganti rugi tidak cukup untuk memperoleh atau
membeli tanah yang luas dan tingkat strategis yang sama. Bahkan sering terjadi
pembebasan tanah hanya sebagai kedok saja.
Menarik untuk ditelaah mengenai penerapan pemberian ganti rugi
dalam pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Apakah ketentuan yang telah diatur
dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum telah melindungi hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh rakyat dan
tidak condong membela kepentingan Pemerintah, bahkan cenderung memihak pada
pemilik proyek pembangunan itu. Dilatarbelakangi oleh pembicaraan-pembicaraan
awal tersebut, maka menjadi penting dan sangat menarik bagi penulis untuk
meneliti dan menganalisis masalah tersebut ke dalam tesis yang berjudul “Ganti
Rugi Hak Atas Tanah Dalam Pembangunan Untuk Kepentingan Umum”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
di atas maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana prosedur pengadaan tanah dan pemberian ganti rugi kepada
pemilik hak atas tanah dalam pembangunan untuk kepentingan umum?
2.
Bagaimana solusi jika terjadi ketidaksepakatan dalam pemberian ganti rugi
antara pemilik tanah dengan pemerintah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui dan menganalisis prosedur pengadaan tanah dan pemberian
ganti rugi kepada pemilik hak atas tanah dalam pembangunan untuk kepentingan
umum.
2.
Untuk mengetahui dan menganalisis solusi jika terjadi ketidaksepakatan dalam
pemberian ganti rugi antara pemilik tanah dengan pemerintah.
D. Manfaat Penelitian
1.
Diharapkan dapat menjadi media pengetahuan dan wawasan baru bagi para
mahasiswa/mahasiswi yang berminat mengkaji problematika pemberian ganti rugi
terhadap pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
2.
Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi
pembangunan Hukum Perdata khususnya Hukum Pertanahan tentang pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi
Penelitian
Lokasi penelitian difokuskan pada Kantor
Kementrian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota
Makassar. Untuk maksud tersebut terlebuh dahulu digambarkan kota Makassar
sebagai berikut;
Berdasarkan data primer yang diperoleh
pada Kantor BPS Kota Makassar diketahui bahwa Kota Makassar merupakan Ibukota
Provinsi Sulawesi Selatan. Letak Kota Makassar berada pada koordinat antara
Timur dan 119 C 18
17
– 119
32
31,03
Bujur Timur dan 5
3
30,18 - 5
14
16,49 Lintang Selatan.
Luas wilayah
administrasi Kota Makassar kurang lebih 175,77 km2 (17,577 ha)
dengan rincian bahwa 140 km (140 ha) berada pada dataran kepulauan dan sekitar
174,37 km2 (17,43 ha) adalah dataran pulau Sulawesi dengan batas
sebagai berikut:
-
Sebelah Utara berbatasan dengan Kepulauan
Pangkep
-
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Maros
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten
Gowa
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar
Wilayah Kota Makassar yang berbatasan
langsung dengan Selat Makassar mempunyai garis pantai sepanjang 32 km yang
membentang dari arah Selatan ke Utara, membujur kea rah Timur Laut. Wilayahnya
mencakup beberapa pulau, diantaranya ada 13 pulau yang mempunyai nama, yaitu:
Pulau Kayangan, Pulau Lae-lae, Pulau Lanjukang, Pulau Langkai, Pulau Lumu-lumu,
Pulau Bone Batang, Pulau Barang Lompo, Pulau Barangkeke, Pulau
Kodingarenglompo, Pulau Samalona dan Pulau-pulau kecil lainnya.
Luas wilayah Kota Makassar adalah 17.577
Ha. Secara umum konfigurasi bentuk wilayah Kota Makassar termasuk datar dan
menurut morfologi regional merupakan deretan pegunungan Lompobattang yang
berelief rendah. Keadaan topogratifinya datar hingga berombak dengan ketinggian
berkisar antara 0-25 meter di atas permukaan laut. Satuan relief di daerah ini
pada umumnya ditutupi alluvium hasil sedimentasi rawa, pantai dan sungai serta
material hasil gunung api, dengan kemiringan lereng 0-2 %. Bentuk lahan adalah
hasil bentukan asal aluvial di beberapa tempat mempunyai ketinggian yang sangat
rendah dari permukaan laut sehingga sering tergenang dan merupakan rawa-rawa.
Bentuk lahan ini dijumpai di sekitar muara Sungai Tallo dan Sungai Jeneberang
yang secara geomorfologi dikategorikan sebagai dataran banjir sungai. Selanjutnya
daerah yang mempunyai bentuk topografi berombak sebagai bagian terkecil dari
wilayah Kota Makassar hanya di jumpai di Wilayah Utara dan Timur yang secara
administrasi termasuk Kecamatan Biringkanaya.
Secara administrative Kota Makassar
sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, mempunyai luas wilayah 17.577 Ha
atau 0,28 % dari luas wilayah Sulawesi Selatan, terdiri dari 14 Kecamatan, 143
Kelurahan. Dari 14 Wilayah Kecamatan, Kecamatan Tamalate yang merupakan wilayah
terluas yaitu: 1,997 Ha dan Kecamatan Mariso yang merupakan wilayah Kecamatan
terkecil dengan luas wilayah: 0,182 Ha.
B. Kantor Pertanahan
Kota Makassar
Kantor pertanahan adalah instansi
vertical Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di
Kabupaten/Kota yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Kementrian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Provinsi.
1. Kantor pertanahan dalam menyelenggarakan
tugas dan fungsinya sebagai berikut:
a. Menyusun rencana, program dan
penganggaran dalam rangka pelaksanaan tugas pertanahan;
b. Pelayanan, perijinan dan rekomendasi di
bidang pertanahan;
c. Pelaksanaan survey pengukuran dan
pemetaan dasar, pengukuran dan pemetaan bidang, pembukuan tanah, pemetaan
tematik dan survey potensi tanah;
d. Pelaksanaan penatagunaan tanah,
landreform, konsolidasi tanah dan penataan pertanahan wilayah pesisir,
pulau-pulau kecil, perbatasan dan
wilayah tertentu;
e. Pengusulan dan pelaksanaan penetapan hak
tanah, pendaftaran hak tanah, pemeliharaan data pertanahan dan administrasi
asset pemerintah;
f. Pelaksanaan pengendalian pertanahan,
pengelolaan tanah Negara, tanah terlantar dan tanah-tanah kritis, peningkatan
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat;
g. Penanganan konflik, sengketa dan perkara pertanahan;
h. Pengkoordinasian pemangku kepentingan
pengguna tanah;
i. Pengelolaan sistem informasi Manajemen
Pertanahan Nasional (SIMTANAS);
j. Pemberian penerangan dan informasi
pertanahan kepada masyarakat, pemerintah dan swasta;
k. Pengkoordinasian penelitian dan
pengembangan;
l. Pengkoordinasian pengembangan sumberdaya
manusia pertanahan;
m. Pelaksanaan urusan tata usaha,
kepegawaian, keuangan, sarana dan prasarana perundang-undangan serta pelayanan
pertanahan.
2. Visi, misi, motto dan maklumat pelayanan
a. Visi
Bersertifikatnya seluruh bidang tanah dalam
wilayah kota Makassar.
b. Misi
1) Meningkatkan penyelesaian sertifikat hak
atas tanah;
2) Meningkatkan pemanfaatan, penggunaan,
penguasaan dan kepemilikan tanah yang efektif;
3) Memberikan jaminan-jaminan kepastian
hukum dan kepastian hak serta perlindungan hukum kepada masyarakat dan
investor;
4) Mendukung peningkatan ekonomi masyarakat
dalam rangka mewujudkan Makassar sebagai kota maritim, niaga, pendidikan,
budaya dan jasa yang berorientasi global, berwawasan lingkungan dan paling
bersahabat.
c. Motto
Pelayanan ketuk pintu, tiada hari tanpa
penyerahan sertifikat.
d. Janji/maklumat pelayanan, dengan ini
menyatakan sanggup:
1) Memberikan layanan sesuai norma standar,
prosedur dan criteria;
2) Bekerja dengan jujur, tertib, disiplin
dan tidak diskriminatif;
3) Memberikan kemudahan dalam memberikan
informasi yang diperlukan sesuai ketentuan yang berlaku;
4) Merespon dengan cepat keluhan penggunaan
layanan pertanahan;
5) Melakukan inovasi pelayanan untuk
memenuhi standar pelayanan prima.
C. Prosedur Pengadaan
Tanah dan Pemberian Ganti Rugi Tanah
Menurut hasil wawancara penulis dengan
bapak Dr. Muhallis Mentja S.S.iT.,M.H selaku Kepala Seksi Pengadaan Tanah bahwa
penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum terbagi menjadi beberapa
tahap, yaitu sosialisasi atau musyawarah, pendataan pemilik tanah, pengukuran,
penilaian besaran ganti rugi oleh tim Appraisal, rapat para pemilik tanah dan
penyerahan hasil atau pembayaran ganti rugi.
Penjelasan lebih lanjut dijelaskan dalam
Undang-undang No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan
melalui 4 (empat) tahapan, diantaranya:
1. Tahap pemberitahuan rencana pembangunan
Dalam tahap perencanaan pihak instansi yang memerlukan tanah membuat
Rencana Pengadaan Tanah yang disusun dalam bentuk Dokumen Perencanaan Pengadaan
Tanah. Setelah lengkap, instansi yang memerlukan tanah tersebut menyampaikan
kepada Gubernur (dalam hal ini Gubernur dimana Provinsi rencana pengadaan tanah
dilaksanakan) kemudian disampaikan kepada masyarakat di lokasi rencana
pembangunan.
2. Tahap persiapan pengadaan tanah
Setelah dokumen rencana pengadaan tanah
diterima oleh Gubernur, maka Gubernur membentuk Tim Persiapan Pengadaan Tanah
paling lama 10 hari kerja. Oleh karena itu Tim Persiapan Pengadaan Tanah
memiliki tugas, yaitu:
a. Melaksanakan Pemberitahuan Rencana
Pembangunan
Pemberitahuan rencana pembangunan
dilaksanakan dalam waktu paling lama 20 hari kerja sejak dokumen perencanaan
pengadaan tanah diterima secara resmi oleh Gubernur. Pemberitahuan dilakukan
dengan cara sosialisasi atau tatap muka atau dengan surat pemberitahuan (secara
langsung atau tidak langsung).
b. Melakukan Pendataan Awal Lokasi Rencana
Pembangunan
Pendataan awal lokasi rencana pembangunan
meliputi pengumpulan data awal pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah.
Pendataan awal lokasi rencana pembangunan dilaksanakan oleh tim persiapan
pengadaan tanah berdasarkan dokumen perencanaan pengadaan tanah dalam waktu
paling lama 30 hari kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan. Hasil
pendataan tersebut dituangkan ke dalam Daftar Sementara Lokasi Rencana
Pembangunan yang akan digunakan sebagai data untuk pelaksanaan konsultasi
publik rencana pembangunan.
c. Konsultasi Publik Rencana Pembangunan
Konsultasi publik dilaksanakan oleh tim
persiapan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak
yang berhak. Apabila rencana pembangunan akan mempunyai dampak khusus,
konsultasi publik dapat melibatkan masyarakat yang akan terkena dampak
pembangunan secara langsung. Dalam konsultasi publik, tim persiapan akan
menjelaskan rencana pengadaan tanah kepada pihak yang berhak dan pihak dan
pihak yang terkena dampak. Pelaksanaan konsultasi publik dilaksanakan dalam
jangka waktu paling lama 60 hari kerja yang dihitung mulai tanggal
ditandatanganinya Daftar Sementara Lokasi Rencana Pembangunan. Kemudian hasil
kesepakatan atas lokasi rencana pembangunan dituangkan dalam berita acara
kesepakatan.
Apabila dalam konsultasi publik terdapat
pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak atau kuasanya tidak
sepakat atau keberatan atas rencana lokasi pembangunan, maka dilaksanakan
konsultasi publik ulang. Konsultasi ulang tersebut dilaksanakan dalam jangka
waktu paling lama 30 hari kerja sejak tanggal berita acara kesepakatan dalam
konsultasi publik ulang.
Dalam hal konsultasi publik ulang masih
terdapat pihak yang keberatan atas lokasi rencana pembangunan, instansi yang
memerlukan tanah melaporkan keberatan kepada Gubernur melalui tim persiapan.
Untuk menindaklanjuti keberatan tersebut, Gubernur tim kajian keberatan untuk
melakukan kajian atas keberatan lokasi rencana pembangunan.
Adapun tugas tim kajian tersebut sebagai
berikut:
1) Menginventarisasi masalah yang menjadi
keberatan.
Inventarisasi
masalah yang menjadi alasan keberatan berupa:
a) Klasifikasi jenis dan alasan keberatan
b) Klasifikasi pihak yang keberatan
c) Klasifikasi usulan pihak yang keberatan
Inventarisasi
masalah tersebut disusun dalam bentuk dokumen keberatan.
2) Melakukan pertemuan dan klarifikasi
dengan pihak yang keberatan. Pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang
keberatan dilakukan untuk:
a) Menyamakan persepsi tentang materi atau
alasan keberatan pihak yang keberatan.
b) Menjelaskan kembali maksud dan tujuan
rencana pembangunan.
3) Membuat rekomendasi diterima atau
ditolaknya keberatan. Rekomendasi tersebut didasarkan atas hasil kajian dokumen
keberatan yang diajukan oleh pihak yang keberatan terhadap:
a) Rencana tata ruang wilayah, dan
b) Prioritas pembangunan yang tercantum
dalam rencana pembangunan jangka menengah, rencana strategis dan rencana kerja
pemerintah instansi yang bersangkutan.
Rekomendasi yang dibuat oleh tim
ditandatangani oleh ketua tim kajian dan disampaikan pada Gubernur. Berdasarkan
rekomendasi tim kajian tersebut, Gubernur mengeluarkan surat diterima atau
ditolaknya keberatan atas lokasi rencana pembangunan. Surat tersebut
disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah dan pihak yang keberatan,
maka instansi yang memerlukan tanah membatalkan rencana pembangunan dan
memindahkan lokasi ketempat yang lain. Penanganan keberatan oleh Gubernur
terhadap pihak yang keberatan dilakukan paling lama 14 hari kerja sejak
diterimanya keberatan.
a. Menyiapkan Penetapan Lokasi Pembangunan
Penetapan lokasi pembangunan dilakukan
oleh Gubernur berdasarkan kesepakatan atas lokasi rencana pembangunan dalam
konsultasi publik yang dituangkan dalam berita acara kesepakatan dan
kesepakatan atas lokasi rencana pembangunan dalam konsultasi publik atau
ditolaknya keberatan dari pihak yang keberatan sebagaimana berdasarkan
rekomendasi tim kajian keberatan.
Penetapan lokasi pembangunan berlaku
untuk jangka waktu 2 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali untuk paling lama 1
tahun. Dalam hal diperlukan, instansi yang memerlukan tanah atas pertimbangan
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional mengajukan permohonan
perpanjangan waktu penetapan lokasi pembangunan kepada Gubernur, dalam waktu
paling lambat 2 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu penetapan lokasi
pembangunan. Permohonan tersebut disertai dengan keputusan penetapan lokasi dan
pertimbangan pengajuan perpanjangan yang berisikan alasan pengajuan
perpanjangan, data pengadaan tanah yang telah dilaksanakan dan data sisa tanah
yang belum dilaksanakan pengadaan tanahnya. Atas dasar permohonan perpanjangan
penetapan lokasi tersebut, Gubernur menetapkan perpanjangan lokasi sebelum
berakhirnya jangka waktu penetapan lokasi pembangunan. Dalam hal jangka waktu
lokasi pembangunan untuk kepentingan umum tidak terpenuhi, dilaksanakan proses
ulang terhadap sisa tanah yang belum selesai pengadaannya dan proses ulang
tersebut dimulai dari tahap perencanaan.
b. Mengumumkan Penetapan Lokasi Pembangunan
Gubernur bersama instansi yang memerlukan
tanah mengumumkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum.
Pengumuman lokasi pembangunan tersebut memuat nomor dan tanggal keputusan
penetapan lokasi, peta lokasi pembangunan, maksud dan tujuan pembangunan, letak
dan luas tanah yang dibutuhkan, perkiraan jangka waktu pembangunan.
Pengumuman penetapan lokasi pembangunan
dilaksanakan dengan cara:
1) Ditempelkan di Kantor Kelurahan/ Desa
atau nama lain, kantor Kecamatan, dan/atau Kantor Kabupaten/Kota dan di lokasi
pembangunan. Pengumuman penetapan lokasi dilakukan selama kurang 14 hari kerja.
2) Diumumkan melalui media cetak dan/atau
media elektronik. Pengumuman tersebut dilaksanakan melalui surat kabar harian
local dan nasional paling sedikit 1 kali penerbitan pada hari kerja dan
pengumuman melalui media elektronik dilaksanakan melalui laman (website)
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota atau Instansi yang memerlukan
tanah.
Pengumuman penetapan lokasi pembangunan
dilaksanakan paling lambat 3 hari kerja sejak dikeluarkan penetapan lokasi
pembangunan.
c. Melaksanakan tugas lain yang terkait
persiapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang
ditugaskan oleh Gubernur.
Gubernur dapat mendelegasikan kewenangan
pelaksanaan persiapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
kepada Bupati/Walikota berdasarkan pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi
geografis, sumber daya manusia dan pertimbangan lainnya. Pelaksanaan persiapan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan mutaris
mutandis sesuai Pasal 8 sampai dengan Pasal 46 PERPRES 71/2012.
Dalam hal pelaksanaan persiapan pengadaan
tanah dilakukan oleh Bupati/Walikota berdasarkan pendelegasian, permohonan
perpanjangan waktu penetapan lokasi pembangunan diajukan oleh instansi yang
memerlukan tanah kepada Bupati/Walikota atas pertimbangan Kepala Kantor
Pertanahan. Permohonan perpanjangan tersebut diajukan oleh instansi yang
memerlukan tanah kepada Bupati/Walikota dalam jangka waktu paling lambat 2
bulan sebelum berakhirnya jangka waktu penetapan lokasi pembangunan.
3. Tahap pelaksanaan pengadaan tanah;
Pelaksanaan pengadaan tanah
diselenggarakan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional dan dilaksanakan oleh
Kepala Wilayah Badan Pertanahan Nasional selaku Ketua Pelaksanaan Pengadaan
Tanah. Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum pada
tahap persiapan pengadaan tanah, instansi yang memerlukan tanah mengajukan
pelaksanaan tanah kepada Ketua Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
Pengajuan pelaksanaan pengadaan tanah
tersebut dilengkapi dengan:
a. Keputusan penetapan lokasi
b. Dokumen perencanaan pengadaan tanah
c. Data awal pihak yang berhak dan objek
pengadaan tanah.
Pelaksanaan pengadaan tanah meliputi:
1) Inventarisasi dan identifikasi
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Inventarisasi dan identifikasi dilakukan
oleh satuan tugas yang dibentuk oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.
Kegiatannya meliputi:
a) Data fisik penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah.
b) Pengumpulan data pihak yang berhak dan
objek pengadaan tanah.
Selanjutnya yang termasuk ke dalam pihak
yang berhak, yaitu:
a) Pemegang hak atas tanah
b) Pemegang Hak Pengelolaan (HPL)
c) Nadzir untuk tanah wakaf
d) Pemilik tanah bekas milik adat
e) Masyarakat hukum adat
f) Pihak yang menguasai tanah negara dengan
itikad baik, dan/atau
g) Pemilik bangunan, tanaman atau benda lain
yang berkaitan dengan tanah.
Kegiatan inventarisasi dan identifikasi
tersebut dilaksanakan dalam waktu paling lambat 30 hari kerja. Hasil
inventarisasi dan identifikasi data pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah
dibuat dalam bentuk peta bidang tanah dan daftar normatif. Hasil tersebut wajib
diumumkan di kantor desa/ kelurahan, kantor kecamatan setempat dan tempat
pengadaan tanah dilakukan dalam waktu paling lambat 14 hari kerja.
Dalam hal terdapat keberatan atas hasil
inventarisasi dan identtifikasi dilakukan verifikasi dan perbaikan dalam jangka
waktu 14 hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan keberatan. Hasil
pengajuan atau verifikasi dan perbaikan atas inventarisasi dan identifikasi
selanjutnya menjadi dasar penentuan pihak yang berkah dalam pemberian ganti
kerugian.
2) Penilaian ganti kerugian
Setelah dilakukannya inventarisasi dan
identifikasi, selanjutnya dilakukan penilaian ganti kerugian. Penetapan ganti
kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil
penilaian jasa penilai/penilai publik. Jasa penilai/penilai publik tersebut
diadakan dan ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah. Pelaksanaan
pengadaan penilai dilaksanakan dalam jangka waktu 30 hari kerja.
Penilai bertugas melakukan penilaian besarnya
ganti kerugian bidang per bidang tanah yang meliputi:
a. Tanah
b. Ruang atas dan bawah tanah
c. Bangunan
d. Tanaman
e. Benda yang berkaitan dengan tanah
dan/atau
f. Kerugian yang lain yang dapat dinilai
Tugas penilai dalam melaksanakan besarnya
ganti kerugian bidang per bidang tanah tersebut dalam jangka waktu 30 hari
kerja sejak ditetapkannya penilai oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.
Nilai ganti rugi yang dinilai oleh
penilai disampaikan kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dengan berita acara
penyerahan hasil penilaian dan selanjutnya dijadikan dasar untuk menetapkan
ganti kerugian dalam musyawarah penetapan ganti kerugian.
3) Musyawarah penetapan ganti kerugian
Setalah dilakukan penilaian, maka
selanjutnya dilaksanakan musyawarah oleh Pelaksana Pengadaan Tanah beserta
instansi yang memerlukan tanah dengan pihak yang berhak dalam jangka waktu 30
hari kerja.
Musyawarah dilaksanakan untuk menetapkan bentuk ganti kerugian oleh penilai.
Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian
kepada pihak yang berhak. Apabila pihak yang berhak telah diundang secara patut
tidak hadir dalam musyawarah, maka pihak yang berhak dianggap menerima bentuk
dan besarnya ganti kerugian yang telah ditetapkan oleh Pelaksana Pengadaan
Tanah.
Pada hakikatnya pemberian ganti kerugian
diberikan langsung kepada pihak yang berhak, namun dalam hal pihak yang berhak
menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah
atau putusan Pengadilan Negeri/ Mahkamah Agung, maka ganti kerugian dititipkan
di pengadilan Negeri setempat.
Pemberian ganti kerugian dibuat dalam
berita acara pemberian ganti kerugian yang dilampiri dengan daftar pihak yang
berhak menerima ganti kerugian, bentuk dan besarnya ganti kerugian yang telah
diberikan, daftar dan bukti pembayaran/kwitansi dan berita acara pelepasan hak
atas tanah atau penyerahan tanah. Pada saat pemberian ganti kerugian, pihak
yang berhak menerima ganti kerugian wajib melakukan pelepasan hak dan
menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan objek pengadaan tanah kepada
instansi yang memerlukan tanah melalui Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.
Dalam hal pihak yang berhak membutuhkan
ganti kerugian dalam keadaan mendesak, maka Pelaksana Pengadaan Tanah
memprioritaskan pemberian ganti kerugian. Ganti kerugian dalam hal mendesak
tersebut diberikan maksimal 25 persen dari perkiraan ganti kerugian yang
didasarkan atas NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) tahun sebelumnya yang telah
ditetapkan oleh penilai atau nilai yang ditetapkan oleh putusan Pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemberian sisa ganti kerugian dilakukan
bersamaan dengan pelepasan hak objek pengadaan tanah.
Untuk objek pengadaan tanah yang
dimiliki/dikuasai pemerintah pusat daerah tidak diberikan ganti rgi, kecuali
terdapat bangunan yang dipergunakan secara aktif untuk penyelenggaraan tugas
pemerintahan atau objek pengadaan tanah merupakan tanah kas desa. Untuk objek
pengadaan tanah yang dimiliki dikuasai oleh BUMN diberikan ganti kerugian.
4) Pelepasan hak objek pengadaan tanah
Setelah dilaksanakan pemberian ganti
rugi, maka selanjutnya ialah dilakukan pelepasan hak objek pengadaan tanah yang
dilaksanakan oleh pihak yang berhak di hadapan Kepala Kantor Pertanahan
setempat yang dituangkan dalam berita acara pelepasan hak objek pengadaan
tanah. Dalam hal pelepasan objek pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum yang dimiliki oleh pemerintah dilakukan sesuai dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Untuk objek
pengadaan tanah yang dikuasai oleh pemerintah atau dikuasai/dimiliki oleh BUMN
atau BUMD.
5) Pemutusan hubungan hukum antara pihak
yang berhak dengan objek pengadaan tanah
Setelah objek pengadaan tanah diberikan
ganti kerugian atau ganti kerugian telah dititipkan di Pengadilan Negeri atau
yang telah dilaksanakan pelepasan hak objek pengadaan tanah, hubungan hukum
antara pihak yang berhak dan tanahnya hapus demi hukum. Kepala Kantor
Pertanahan melakukan pencatatan hapusnya hak tersebut pada buku tanah dan
daftar umum pendaftaran tanah lainnya dan selanjutnya memberitahukan kepada
pihak yang terkait.
6) Pendokumentasian peta bidang, daftar
normative dan data administrasi pengadaan tanah
Pelaksana pengadaan tanah melakukan
pengumpulan, pengelompokan, pengolahan dan penyimpanan data pengadaan tanah
yang meliputi peta bidang tanah, data normatif dan administrasi.
Data pengadaan tanah berupa:
-
Dokumen perencanaan pengadaan tanah
-
Surat pemberitahuan rencana pembangunan
-
Data awal subjek dan objek
-
Undangan dan daftar hadir konsultasi publik
-
Berita acara kesepakatan konsultasi publik
-
Surat keberatan
-
Rekomendasi tim kajian
-
Surat Gubernur (hasil rekomendasi)
-
Surat keputusan penetapan lokasi pembangunan
-
Pengumuman penetapan lokasi pembangunan
-
Surat pengajuan pelaksanaan pengadaan tanah
-
Berita acara inventaris dan identifikasi
-
Peta bidang objek pengadaan tanah dan daftar
normatif
-
Pengumuman daftar normatif
-
Berita acara perbaikan dan verifikasi
-
Daftar nominatif yang sudah disahkan
-
Dokumen pengadaan nilai
-
Dokumen hasil penilaian pengadaan tanah
-
Berita acara penyerahan hasil penilaian
-
Undangan dan daftar hadir musyawarah penetapan
ganti kerugian
-
Berita acara kesepakatan musyawarah penetapan
ganti kerugian
-
Putusan Pengadilan Negeri/ Mahkamah Agung
-
Berita acara pemberian ganti kerugian dan
pelepasan hak
-
Alat bukti penguasaan dan pemilikan objek
pengadaan tanah
-
Surat permohonan penitipan ganti kerugian
-
Penetapan Pengadilan Negeri penitipan ganti
kerugian
-
Berita acara penitipan ganti kerugian
-
Berita acara penyerahan hasil pengadaan tanah
-
Dokumentasi dan rekaman
Keseluruhan data tersebut di atas
disimpan, didokumentasikan dan diarsipkan oleh Kepala Kantor Pertanahan
setempat dibuat salinan rangkap 2 dan/atau dapat disimpan dalam bentuk data
elektronik. Dokumen asli dan 1 salinan data diserahkan kepada instansi yang memerlukan
tanah sedangkan 1 salinan lainnya menjadi dokumen di Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional atau Kantor Pertanahan setempat.
4. Tahap penyerahan hasil pengadaan tanah.
Setelah dilakukannya ganti kerugian dan
pelepasan hak objek pengadaan tanah, Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah
menyerahkan hasil pengadaan tanah berupa bidang tanah dan dokumen pengadaan
tanah kepada instansi yang memerlukan tanah disertai dengan data pengadaan
tanah paling lama 7 hari kerja sejak dilakukan pelepasan hak objek pengadaan
tanah. Setelah dilakukan serah terima hasil pengadaan tanah, maka instansi yang
memerlukan dapat langsung menggunakan untuk melaksanakan pembangunan dan wajib
mendaftarkan tanah yang diperolehnya tersebut.
D. Solusi Jika Terjadi
Ketidaksepakatan Antara Pemilik Tanah Dengan Pemerintah
Seiring arus industrialisasi masuk di
Indonesia, tepatnya dimulai pada fase ekonomi politik di tahun 1830, paradigma
masyarakat mulai berubah yang tadinya menjunjung tinggi kolektivitas kini
menjadi individualistik. Sebagai bagian dari hukum agraria nasional, peraturan
pengadaan tanah harus mengacu pada tujuan hukum agraria nasional dengan prinsip
keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. Hak atas tanah
apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan apabila tanahnya
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, melainkan wajib pula memperhatikan kepentingan umum.
Seperti yang kita ketahui sebelum
berlakunya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 bahwa setiap pemberian ganti rugi
ini masih berpatokan kepada harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Kesadaran para pemilik tanah dalam
mengorbankan tanahnya untuk kepentingan umum dinilai masih rendah, terbukti
setiap ada pembebasan tanah, para pemilik tanah masih mengharapkan ganti
kerugian sebesar mungkin dengan harapan setelah tanahnya dibebaskan, para
pemilik tanah tidak akan terlantar. Keluhan dan harapan pemilik tanah ini belum
terdengar sepenuhnya oleh pihak pemerintah.
Masalah-masalah lain yang sering timbul
mengenai pengadaan tanah dalam pembangunan untuk kepentingan umum ini bukan
hanya karena besaran ganti kerugian saja yang dinilai rendah oleh pemilik tanah
namun kurangnya pemahaman masyarakat mengenai tata cara yang dilakukan untuk
menempuh jalur hukum apabila keberatan dengan ganti kerugian yang diberikan
oleh pemerintah tersebut, sehingga masyarakat lebih memilih tidak memberikan
hak atas tanahnya, namun tidak sedikit pula dari masyarakat yang lebih memilih
untuk mewakafkan tanahnya karena tidak ingin berlarut-larut dalam masalah
kepemilikan tanah yang mengharuskan untuk berurusan dengan pemerintah.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 2
Tahun 2012 pada tanggal 1 Januari 2015, penentuan bentuk dan besaran ganti rugi
hak atas tanah ini di tentukan oleh juru taksir (Tim Appraisal). Tim Appraisal
sendiri ditetapkan oleh lembaga pertanahan. Usaha jasa penilai (Tim Appraisal)
sudah eksis sejak tahun 1970-an. Jasa penilai ini banyak dimanfaatkan untuk
kepentingan investasi yang kala itu mulai marak. Pelan tapi pasti, profesi ini
akhirnya berkembang. Pemerintah juga melihat pentingnya mengatur dan memberikan
kepastian hukum kepada profesi penilai, maka lahirlah Keputusan Menteri
Perdagangan No. 161/VI/77 yang mengatur izin usaha jasa penilai di Indonesia.
Pada tahun 2008 lalu, Menteri Keuangan kemudian menerbitkan Peraturan No.
125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik. Dalam beleid terakhir ini, usaha
jasa penilai yang berbentuk perseroan terbatas diubah menjadi Kantor Jasa
Penilai Publik, sehingga Appraisal lebih dianggap sebagai pemberi jasa.
Tim Appraisal bukan hanya perlu memahami
tugas-tugas teknisnya saja, tetapi juga perlu tahu aturan yang berlaku serta
butuh pemahaman kontrak yang benar dan memahami teknis hukum bidang di mana ia
memberikan jasanya. Tim Appraisal bisa mendapatkan hal tersebut melalui
pendidikan dan pelatihan.
Adanya Tim Appraisal ini tidak menjamin
besaran ganti rugi dan juga tidak
menjamin akan timbulnya masalah dalam menentukan ganti rugi. Tim Appraisal dalam
menentukan ganti rugi sampai saat ini tidak memiliki acuan, sehingga hasil
ganti rugi yang ditaksirkan tidak selamanya akan diterima oleh Panitia
Pengadaan Tanah (P2T). Dalam hal ini, Panitia Pengadaan Tanah (P2T) memiliki
otoritas dalam penerimaan atau penolakan hasil kerja Tim Appraisal.
Kesimpulannya, untuk penentuan besar dan bentuk ganti rugi masih merupakan
kewenangan dari Panitia Pengadaan Tanah (P2T) dengan mendengarkan rekomendasi
dari Tim Appraisal.
Menurut Dr. Muhallis Mentja S.S.iT.,MH, pembebasan
tanah memiliki 2 bagian, yaitu pembebasan tanah skala kecil dan pembebasan
tanah skala besar. Pembebasan tanah skala besar yaitu yang memiliki luas 5
hektar atau lebih dari 5 hektar harus menggunakan Panitia Pengadaan Tanah (P2T),
sedangkan pembebasan tanah skala kecil, yaitu tanah yang memiliki luas kurang
dari 5 hektar tidak harus menggunakan Panitia Pengadaan Tanah (P2T), namun
tidak menjadi masalah jika tetap ingin menggunakan Panitia Pengadaan Tanah
(P2T) tersebut.
Setelah Panitia Pengadaan Tanah (P2T)
menerima rekomendasi dari Tim Appraisal, kemudian P2T menyampaikan hasil
tersebut kepada pemilik tanah yang menjadi objek pengadaan tanah dengan cara
musyawarah dan pemilik tanah memiliki otoritas untuk menolak usulan dari harga
yang ditaksir oleh Tim Appraisal. Akan tetapi P2T telah menyampaikan besarnya
ganti rugi kepada pemilik tanah, dan pemilik tanah dalam hal ini menolak
besarnya ganti rugi yang diusulkan oleh Tim Appraisal maka, Gubernur dan
Menteri dapat melaporkan kepada Presiden sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Apabila tidak tercapai kesepakatan dalam
musyawarah tersebut, maka pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan dalam
bentuk gugatan kepada Pengadilan Negeri setempat dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja setelah ditetapkannya ganti kerugian di dalam
musyawarah tersebut.
Selanjutnya Pengadilan Negeri menetapkan
putusan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan gugatan. Dalam hal pihak
masih keberatan atas Putusan Pengadilan Negeri, dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak mengetahui adanya Putusan, dapat
mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung RI.
Mahkamah Agung RI wajib menetapkan
Putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan
kasasi diterima. Putusan Pengadilan/MA RI yang telah berkekuatan hukum tetap
menjadi dasar pemberian ganti kerugian. Adapun pihak yang menolak bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian, namun tidak mengajukan keberatan dalam waktu
yang telah ditentukan, demi hukum dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti
kerugian yang dimaksud.
Pemilik tanah yang menolak bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan
Pengadilan/ Mahkamah Agung Republik Indonesia, maka pemerintah dapat melakukan
pemaksaan dalam bentuk pencabutan hak berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun
1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan/atau Benda-benda yang Ada di Atasnya,
menyebutkan ” Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri
Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak
atas tanah dan/atau benda-benda yang ada di atasnya. Pencabutan hak-hak atas
tanah dan benda-benda yang berada di atasnya dapat dilakukan apabila tanah
dan/atau benda-benda yang berada di atasnya dibutuhkan untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat,
demikian pula untuk kepentingan pembangunan.” Namun
pemilik yang berhak tetap diberi ganti
kerugian yang dititipkan (konsinyasi) di Pengadilan Negeri setempat.
Selain hal-hal tersebut di atas,
konsinyasi juga dapat dilakukan apabila pihak yang berhak tidak diketahui
keberadaannya, objek pengadaan tanah yang diberikan ganti kerugian sedang
menjadi objek perkara di Pengadilan, objek tersebut kepemilikannya masih disengketakan,
objek tersebut diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang ataupun sedang
menjadi jaminan di bank.
Sejalan dengan wawancara yang dilakukan
penulis kepada 20 responden yang merupakan masyarakat atau pemegang hak atas
tanah, didapatkan data 15 responden atau 75% pemilik tanah memilih untuk
mewakafkan tanahnya dengan berbagai alasan, seperti tidak mengetahui
langkah-langkah hukum yang dapat diambil jika ingin melakukan keberatan, tidak
ingin berurusan dengan pemerintah dan lebih kepada ingin mendapatkan amal
jariyah atas tanahnya yang digunakan untuk kepentingan umum. Sedangkan 5
responden lainnya atau 25% pemilik tanah tidak ingin memberikan tanahnya karena
bentuk dan besar ganti kerugian yang ditawarkan oleh pemerintah dianggap tidak
sesuai dengan harga pasar.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Prosedur pengadaan tanah dan pemberian
ganti rugi yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tidak sepenuhnya
memihak pada rakyat atau pada pihak yang berhak. Hal ini menunjukkan bahwa
tidak ada jalan lain bagi pihak yang berhak selain menerima hak atas tanahnya
dicabut demii pengadaan tanah bagi kepentingan umum walaupun ganti kerugian
yang ditawarkan oleh pemerintah tidak sesuai.
2. Apabila terjadi ketidaksepakatan antara
pihak pemerintah dan pihak yang berhak atau pemilik tanah, maka pihak yang
berhak terkait pemberian ganti kerugian yang ditawarkan oleh pemerintah dapat
melakukan langkah-langkah hukum untuk membela haknya, yaitu dengan mengajukan
keberatan dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 14
(empat belas) harii kerja setelah ditetapkannya besar dan bentuk ganti
kerugian.
B. Saran
Berdasarkan
kesimpulan dari pembahasan yang telah diteliti, maka diajukan saran, yaitu:
1. Diharapkan pemerintah mengatur lebih
lanjut tentang standarisasi pemberian ganti kerugian terhadap pengadaan tanah
bagii pembangunan untuk kepentingan umum, karena besar dan bentuk ganti
kerugian terhadap pengadaan tanah tidak diatur dengan jelas dalam Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum sehingga terwujud keadilan bagi pemegang hak atas tanah dan terpenuhinya
pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah.
2. Diharapkan bagi pemilik hak atas tanah
untuk mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi sehingga dalam
proses pengadaan tanah ini lebih mudah mencapai kesepakatan dalam musyawarah
yang dilakukan oleh pemerintah dengan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku-Buku
Abdurrachman, Masalah Hak-hak Atas Tanah dan
Pembebasan Tanah di Indonesia, Cet. 2, Bandung: Alumni, 1983.
______________, Masalah Pencabutan Hak-hak
Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Bandung: Alumni, 1983.
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum,
Jakarta: Chandra Pratama, 1996.
__________, Menguak Teori Hukum (Legal
Theory) dan Teori Peradilan (Judicalprudence), Termasuk Interpretasi
Undang-undang (Legisprudence), Volume 1 Pemahaman Awal. Jakarta: Kencan,
2009.
Bernard, Limbong, Hukum Agraria Nasional,
Jakarta: Margaretha Pustaka, 2012.
Boedi, Harsono, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional, Cet.I;
Jakarta: Djambatan, 2003.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia edisi IV. Jakarta: PT. Gramedia, 2012.
Erwiningsih, Winahyu, Hak Menguasai Negara
Atas Tanah, Yogyakarta; Total Media, 2009.
Friedman M Lawrence, Sistem Hukum:
Perspektif Ilmu Sosial, Bandung: Nusa Media, 2009.
Harsono, Budi, Sejarah, Isi dan Pelaksanaan
UUPA, Jakarta: Djambatan, 2009.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum,
Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Hutagalung, Arie Sukanti, Kewenangan
Pemerintah di Bidang Pertanahan, Jakarta: Rajawali, 2008.
John, Selindeho, Masalah Tanah dalam
Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 1988.
_________, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cet.
2, Jakarta: Sinar Grafika, 1988.
_________, Masalah Tanah dalam Pembangunan,
Jakarta: Sinar Grafika, 1987.
Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya,
Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah
Tafsiryah, Edisi IV. Yogyakarta: Ma’had Nabawi, 2013.
Leback, Karen. 1986. Six Theories of Justice,
Augsbung Publishing House. Terj. Yudi Santoso dan Ahmad Mustofa, Teori-Teori
Keadilan. Bandung: penerbit Nusa Media.
Limbong, Bernhard, Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Jakarta Selatan: Mergaretha Pustaka, 2011.
Mahendra, Menguak Masalah Hukum, Demokrasi
dan Pertanahan, Cet. I, Jakarta: Sinar Harapan, 1996.
Mertokusumo Sudikno, Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, Cetakan Kelima, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2010.
___________________ dan Pitlo, Bab-bab
Tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta: Citra Aditya Bakti, 1991.
Mochammad, Tauchid, Masalah Agraria Sebagai
Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Ed. 1, Cet. 2,
Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Mudakkir, Iskandar Syah, Pembebasan Tanah
Untuk Pembangunan Kepentingan Umum, Jakarta: Permata Aksara, 2014.
Murad, Rusmadi, Administrasi Pertanahan Pelaksanaan
Hukum Pertanahan Dalam Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2012.
Notonegoro, Politik Hukum dan Pembangunan
Agraria di Indonesia, Jakarta: Pancuran Tujuh.
Paton, A Textbook of Jurisprudence, Oxford
University Press, 1969.
Perlindungan A.P, Pencabutan dan Pembebasan
Hak Atas Tanah Suatu Studi Perlindungan, Bandung: Mandar Maju, 1993.
_______________, Konversi Hak-hak Atas Tanah,
Jakarta: Mandar Maju, 1990.
Raharjo Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2000.
Rubaie, Ahmad, Hukum Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum, Malang: Bayumedia, 2007.
Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan,
Bandung: Citra Adiya Bakti, 1993.
Santpso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-hak
Atas Tanah, Edisi Pertama, Cet. 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012.
Sarkawi, Hukum Pembebasan Tanah Hak Milik
Adat Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.
Sitorus, Oloan, Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum, Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004.
Soedaharyo, Soimin, Status Hak dan
Pembebasan Tanah, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian
Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.
________________. Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.
Soesangobeng, Herman, Filosofi, Asas,
Ajaran, Teori Hukum Pertanahan dan Agraria, Yogyakarta: STPN, 2012.
Soimin, Shoedaryo, Status Hak dan Pengadaan
Tanah, Jakarta: Sinar Grafika, 1993.
________________, Status Hak dan Pembebasan
Tanah, Edisi Kedua, Cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Suhardi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.
Sumardajono, Maria, Tanah Dalam Perspektif
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta: Kompas, 2008.
Sutedi, Adrian, Implementasi Prinsip
Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007.
Syarief, Elza, Menuntaskan Sengketa Tanah
Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, Jakarta: PT. Gramedia, 2012.
Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Wartaya, Winangun, Tanah Sumber Nilai Hidup,
Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Zein, Ramli, Hak Pengelolaan dalam Sistem
UUPA, Jakarta: PT. Rineka, 1995.
B.
Makalah/ Artikel/ Karya Ilmiah
C.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan/atau Benda-benda yang Ada di Atasnya.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.